Wapres Pimpin Percepatan Pembangunan Papua
Tolak UU Otsus Baru, MRP Kritik DPR-Pemerintah
JAKARTA, Jawa Pos – Penetapan Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus (RUU Otsus) telah memastikan berlanjutnya bantuan anggaran dari pusat untuk Papua. Selain itu, dalam UU yang baru, wakil presiden diberi amanah untuk memimpin Badan Khusus Percepatan Pembangunan Papua (BK-P3).
Hal tersebut disampaikan Ketua DPR Puan Maharani saat membacakan poin penetapan UU Otsus. ”UU Otonomi Khusus Papua yang baru mengamanatkan pembentukan badan khusus yang dipimpin langsung oleh wakil presiden,” terang Puan dalam pidatonya kemarin (15/7).
Dalam hal ini, Wapres Ma’ruf Amin sebagai kepala BK-P3 akan bertugas dan bertanggung jawab langsung kepada presiden. Tugas BK-P3 adalah melakukan sinkronisasi, harmonisasi, evaluasi, serta koordinasi pelaksanaan otonomi khusus dan pembangunan di wilayah Papua.
Menurut Puan, substansi yang tidak kalah pentingnya adalah kebijakan afirmasi bidang politik terhadap warga asli Papua. Yakni dengan adanya anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) yang diangkat dari orang asli Papua. Mantan Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) itu berharap UU yang baru dapat memperbaiki dan menyempurnakan berbagai kekurangan dalam pelaksanaan otsus selama 20 tahun ini.
Ketua Pansus RUU Otsus Komarudin Watubun mengatakan, kehadiran BK-P3 sangat penting dan dibutuhkan. Sebab, kata dia, selama ini ada banyak program atau kegiatan yang dilakukan berbagai kementerian dan lembaga di Papua. Namun, pelaksanaannya tidak sinkron.
Sebagai koordinator, wakil presiden nanti bekerja didampingi menteri dalam negeri, kepala Bappenas, menteri keuangan, serta masing-masing perwakilan dari setiap provinsi dalam BK-P3. ”Diharapkan bisa meningkatkan efektivitas dan efisiensi pembangunan di Papua,” kata legislator PDIP itu.
Dalam pembahasan RUU Otsus Papua, ada 18 pasal yang mengalami perubahan dan dua pasal baru. Menurut Komarudin, UU tersebut mengakomodasi perlunya pengaturan kekhususan bagi orang asli Papua dalam bidang politik, pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan perekonomian serta memberikan dukungan bagi pembinaan masyarakat adat.
Terkait Majelis Rakyat Papua (MRP) dan DPRP, UU itu memberikan kepastian hukum bahwa keduanya berkedudukan di masing-masing ibu kota provinsi. UU Otsus juga memberikan penjelasan mengenai penamaan masing-masing lembaga agar tercipta kesamaan penyebutan nama sebagai landasan administrasi pemerintahan. ”UU itu juga memberikan penegasan bahwa anggota MRP tidak boleh berasal dari partai politik,” urainya.
Berkaitan dengan dana otsus, aturan yang baru menetapkan kenaikan anggaran dari 2 persen DAU nasional menjadi 2,25 persen untuk Papua. Namun, kata Komarudin, persoalan di tanah Papua bukan sematamata mengenai besaran dana tersebut. ”UU yang baru telah memperkenalkan sebuah tata kelola baru bagi penggunaan dana otsus,” tuturnya.
Terpisah, kuasa hukum MRP Saor Siagian menyayangkan sikap DPR dan pemerintah. Legislatif dan eksekutif dinilai mengabaikan proses gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK). Hal itu, menurut dia, sama saja dengan mengabaikan hak konstitusional masyarakat Papua.
”Dalam permohonan kami ada provisi. Artinya, selama uji sengketa kewenangan, diberhentikan dulu pembahasan revisi di DPR,” ujarnya kepada Jawa Pos kemarin. MRP dalam hal ini mengajukan uji materi pasal 77 UU Otsus Nomor 21 Tahun 2001 terkait penentuan kewenangan.
Saor menganggap DPR dan pemerintah mengambil kesempatan mandeknya persidangan di MK dengan mempercepat pembahasan. ”Kenapa sidang ditunda, sementara pembahasannya tetap berjalan?” imbuhnya.
Disinggung soal langkah hukum ke depannya, Saor belum bisa memastikan. Rencananya, kuasa hukum merundingkan opsi apa yang bisa diambil dengan pihak MRP.