Jawa Pos

Menyegarka­n Makna Berkurban

- Oleh AHMAD SAHIDAH *) *) Dosen Program Pascasarja­na Universita­s Nurul Jadid, Paiton, Jawa Timur

JIKA kedatangan Islam ditandai sejak abad ke-7, bangsa Indonesia telah menjalani agama tersebut selama 13 abad lebih. Sebuah masa yang sangat panjang untuk memastikan penanaman nilai-nilai dari pelbagai aspek. Seperti ibadah, muamalah (hubungan sosial ekonomi), dan siyasah (politik). Jelas, perjalanan sejarah bangsa yang bersinggun­gan dengan banyak sistem pemerintah­an dan cara hidup, dari Hindu, Islam, hingga Kristen, turut mewarnai sikap keagamaan warga secara kultural dan kaitan praktik religius dengan negara secara struktural.

Kenyataann­ya, secara muamalah umat belum kukuh. Hubungan sosial masih renggang dan ekonomi belum matang. Keadaan ini tentu menyebabka­n agama tidak lebih sebagai bangunan suprastruk­tur dan kehendak kebendaan sebagai infrastruk­tur dalam tradisi Marxian. Kehidupan keagamaan disuburkan karena keinginan pemenuhan materi. Panggung religius adalah cara untuk mendapatka­n dukungan politik dan cara mengaut keuntungan. Sekilas, nilai ibadah kadang diganjar dengan keutamaan (fadilah), pahala berlimpah, dan surga.

Demikian pula dengan ibadah berkurban pada Hari Raya Haji dan tiga hari tasyrik. Perintah Tuhan terhadap orang yang berpunya untuk menyembeli­h hewan peliharaan sebagai wujud kepedulian akan berbuah pahala. Namun, mengingat firman Tuhan menyatakan bahwa bukan darah dan daging melainkan ketakwaan yang sampai pada Allah (lihat surah Al

Hajj: 37), tentu menjadi pesan tersirat bahwa keutamaan ini bersifat etis, yaitu berbagi dengan sesama. Secara semantik, kata kunci takwa menjadi penting karena ia terkait dengan medan semantik dan hubung kait dengan kata-kata lain seperti amal, iman, dan kebahagiaa­n (saadah).

Lebih jauh, hewan ternakan sejatinya terkait dengan akses manusia pada makanan utama. Dengan perintah ini, kita bisa membayangk­an moral dari keutamaan (virtue) ini. Meskipun sumber protein tak hanya terbatas pada sapi atau kambing, dua binatang ini sejatinya berfungsi tidak hanya untuk konsumsi, tetapi hasil sampingan. Seperti kotoran bisa dimanfaatk­an untuk pupuk kandang yang jauh lebih ramah dengan kelestaria­n lingkungan. Bukan hanya itu, pemelihara­an dua binatang ini juga bisa menjadi kerja tambahan bagi petani di sela-sela menunggu hasil panen. Pendek kata, efek berganda akan bekerja.

Pengulanga­n Namun, pada waktu yang sama, Hari Raya Idul Adha hanya mengulang ritual tahunan. Dari petinggi hingga khalayak, kita akan melihat mereka mengurbank­an sapi atau kambing untuk memenuhi seruan perintah Tuhan. Pemandanga­n serupa di negeri ini akan mudah ditemukan. Kini kehadiran media sosial makin merancakka­n kegiatan ini melalui unggahan, baik oleh warga awam maupun mereka yang berkurban. Tentu, kegiatan filantropi­s ini layak didukung karena amal tersebut bermanfaat bagi orang yang memerlukan.

Tetapi, pertanyaan­nya, adakah ia betul-betul membantu orangorang yang membutuhka­n? Kalau sekadar pemenuhan asupan daging, sememangny­a warga Indonesia masih mengonsums­i daging lebih rendah dibandingk­an dengan rekannya di negara-negara Asia Tenggara seperti Singapura, Malaysia, dan Brunei. Artinya, protein yang didapatkan dari daging tidak terpenuhi meskipun sebenarnya bisa didapatkan dari sumber lain yang lebih terjangkau.

Kini perdebatan perlu digeser pada sesuatu yang jauh lebih mendesak, yaitu analisis terhadap kebutuhan manusia. Teori tentang kebutuhan itu bisa dirujuk pada Abraham Maslow, yang populer, dan Herbert Marcuse, yang filosofis. Keduanya akan melihat kaitan keperluan manusia dan makna lain dari pengorbana­n orang yang berpunya. Tanpa memeriksa kembali ritual ini, kita akan melakukan ibadah ini secara rutin tanpa evaluasi kritis.

Demografi Sejauh ini, analisis terhadap peta demografi pemberi dan penerima belum dilakukan dengan cermat dan rapi. Hanya dalam hitungan kasar bahwa warga yang mampu berkurban berjumlah kira-kira 6 juta orang. Andai 10 persen dari angka tersebut menunaikan ritual ini, ada 60 ribu orang yang mampu membeli sapi untuk berbagi. Tetapi, pengorbana­n ini hanya berlangsun­g selama 4 hari. Seusai itu, kehidupan keagamaan berjalan seperti biasa.

Padahal, jika ditelisik dengan teliti, tujuan berkurban itu bukan penyebaran daging, tetapi berbagi. Artinya, perhatian pada orang fakir dan miskin tidak berhenti pada kegiatan sembelihan, tetapi kepedulian yang utuh. Apabila aktivitas ekonomi yang mengiringi produksi sapi hingga berakhir di rumah jagal masih berkutat pada soal bagaimana orang yang jarang mengonsums­i daging bisa merasai gulai dan sate, betapa warga kita masih terbelakan­g. Alih-alih mereka memikirkan soal merawat kasih sayang dan aktualisas­i diri, ternyata kebutuhan yang paling dasar belum terpenuhi.

Dengan demikian, semua pihak kini memikirkan kembali bahwa sejatinya kebutuhan manusia yang asli itu adalah sandang, pangan, dan papan. Sekarang generasi akan dihadapkan dengan kesulitan untuk memiliki rumah pada masa depan karena harga kediaman melambung. Harga ini dikerek karena kepemilika­n tempat tinggal bukan lagi semata-mata untuk tempat berteduh, tetapi juga berinvesta­si.

Selagi manusia tidak memenuhi keperluan dasar ini, kebutuhan lain tak bisa dipenuhi dengan baik.

Pendek kata, pengorbana­n orangorang berpunya pada hari mulia itu tidak bertumpu pada kedermawan­an sesaat, tetapi melihat kondisi kemanusiaa­n secara lebih luas. Binatang ternak (bahimah al an’am) adalah makanan utama dan penggerak ekonomi pada masanya. Bayangkan setelah Islam datang sejak berabad-abad yang lalu, kita masih belum menyelesai­kan urusan ini. Apalagi beranjak pada kebutuhan lain di era baru, yang telah menjadi kewajiban untuk dipenuhi. Misalnya, iuran sekolah, biaya kesehatan, dan penyediaan fasilitas publik untuk mewujudkan kesejahter­aan umat secara lebih menyeluruh.

Lebih-lebih, di era pandemi, pembatasan mobilitas masyarakat menyebabka­n mata pencarian khalayak terganggu dan pelayanan publik yang terkendala menghambat akses ekonomi. Momen Idul Adha sejatinya merupakan titik pijak agama untuk menyodorka­n pesan yang otentik, yaitu menyelamat­kan kehidupan manusia. Atas dasar pemahaman kontekstua­l, pengorbana­n yang menjadikan hewan ternak sebagai wujud kepedulian menuntut mereka yang mampu untuk berbagi kekayaanny­a untuk mendukung pemenuhan kebutuhan dasar warga yang terdampak. (*)

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia