Jawa Pos

Cahaya di Akhir Hidup Sukarno

Tiga Juli 2021, Rachmawati Soekarnopu­tri meninggal dunia. Kepergiann­ya menyisakan duka bagi keluarga, tak terkecuali Megawati.

- RENI NURYANTI Dosen Sejarah Unsam dan penulis biografi Inggit Garnasih Oleh RENI NURYANTI

SAMBIL mengenang masa kecil saat hidup bersama di istana, ia berucap, ”Semoga husnulkhat­imah.” Rachmawati adalah ”lumbung sejarah” –tempat tersimpan segenap peristiwa di akhir hidup Soekarno. Rachma merasakan masamasa penuh gejolak di Istana Negara, paviliun Istana Bogor, hingga Wisma Yaso. Demi Soekarno, Rachma ”mengubur” masa remaja, lalu larut dalam masa ”pembuangan” di tahun 1967–1970. Rachma ikut meraup sejarah hidup Soekarno yang ironis di masa senja. Saking cintanya pada Soekarno, Rachma menulis dalam otobiograf­inya, ”Bung Karno adalah bapak yang kubutuhkan, kukagumi, kucintai, dan kusegani. Kenyataan tentang diri bapakku, kelebihan, dan kekurangan­nya harus kuterima dengan kebanggaan penuh seorang anak yang sangat mencintai bapaknya. Aku mengerti bahwa sebagian besar waktu bapak adalah untuk bangsa dan negara yang dicintainy­a.”

Aku, Anak Bapakku Rachmawati dikenal sebagai anak ketiga dari Presiden Soekarno Fatmawati. Lahir di Jakarta pada 27 September 1950. Sejak kecil, ia tinggal di istana bersama kedua orang tua dan pengasuhny­a, Bu Hadi. Hingga tiba, gejolak keluarga menghampir­i. Awal tahun 1954, Soekarno minta izin menikahi Hartini. Fatmawati murka. Ia pergi dari istana bersama kedua anaknya: Sukmawati dan Guruh. Sementara Guntur dan Megawati saat itu kuliah di Bandung. Guntur di ITB, sementara Megawati di Unpad. Sakit hati mendalam sebab Fatmawati baru melahirkan Guruh, membuatnya bersikeras meninggalk­an istana. Ia tinggal di Jalan Sriwijaya, Jakarta Selatan. Tapi, bagaimanap­un, Soekarno tetap menempatka­n Fatmawati sebagai first lady dan Ibu Agung bangsa Indonesia.

Bagaimana dengan Rachmawati? Soekarno menahannya untuk tetap tinggal di istana. Maka, sejak berusia empat tahun, Rachma mulai jarang bertemu Fatmawati. Soekarno menjelma menjadi seorang ibu yang menurut Rachma kerap berlinang air mata saat memangku dan memeluknya. Bahkan, saat Rachma kali pertama haid, Soekarno adalah orang yang meneliti dan menyuwuk sesuai adat Jawa. Kedekatan secara psikologis menjelma menjadi kekaguman. Rachma mengatakan, ”Suasana yang menyebabka­n aku tumbuh dipengaruh­i oleh bapak. Absennya ibu menimbulka­n kekosongan spiritual dalam diriku. Hal mana yang dicoba diisi oleh bapak.”

Pada 7 Juli 1957, Soekarno menikahi Hartini. Rachma semakin jarang bertemu Fatmawati. Berkali-kali membujuk sang ibu, tapi jawabannya tetap sama, ”Ibu tidak mau ke istana. Di sana ada Hartini.” Hingga waktu beranjak remaja, Rachma akhirnya mengerti. Ibunya pantang dipoligami. Saat itu, pelan-pelan Soekarno mengenalka­n Rachma dengan Hartini. Fatmawati juga sesekali datang ke istana saat Soekarno ke Bogor menemui Hartini. Hingga di tahun 1968, saat dengan terpaksa meninggalk­an istana, Soekarno menyuruh Rachma untuk tinggal bersama Fatmawati. Saat itu Rachma mengatakan, ”akhirnya kembali ke ibu.”

Hanya Satu Kata, Nelangsa!

Satu Oktober 1965, mengubah haluan –bukan hanya bangsa Indonesia, tetapi pribadi Rachmawati. Ia yang saat itu masih tinggal di istana merasa sangat gelisah dengan nasib ayahnya, persis saat terjadi peristiwa percobaan pembunuhan seperti peristiwa Cikini, Bom Idhul Adha, dan Maukar. Menyadari keselamata­n anaknya, Soekarno menyuruh Rachma menyusul ibunya di Wisma Siliwangi, Bandung. Selama dua minggu, Rachma berpisah dengan Soekarno hingga keadaan membolehka­n kembali ke istana.

Ketenangan tak lagi dirasakan Rachma. Setelah peristiwa Supersemar, langkah politik Soekarno justru makin terbatas. Pidato Nawaksara sebagai pertanggun­gjawaban nya sebagai presiden nyatanya juga ditolak MPRS. Ironis, Mei 1967 Soekarno bahkan dilarang memasuki Jakarta. Ia terusir dari istana dan menempati Paviliun Istana Bogor bersama Hartini. Pengusiran inilah yang menurut Wijanarko dalam buku Bung Karno: The Untold Stories menjadi petaka sakit Bung Karno. Ginjal semakin parah. Begitu pun reumatik dan darah tinggi.

Saat itu Rachma kalut. Ia mengatakan, ”Oh, rasanya hampir gila. Aku membayangk­an hal-hal mengerikan terjadi pada bapak. Pada siapa aku bergantung?” Khawatir, membuat Rachma tetap menjumpai Soekarno di Bogor. Ia rela sekolahnya di SMA Santa Ursula terbengkal­ai. Tak ada kata untuk mewakili perasaan Rachmawati saat itu kecuali: nelangsa!

Fajar Tenggelam

Kondisi Soekarno makin parah selama di Bogor. Rachma memohon pada Presiden Soeharto agar Soekarno pindah ke Jakarta. Permintaan dikabulkan. Soekarno menempati Wisma Yaso yang sudah hampir empat tahun ditinggalk­an Ratnasari Dewi. Tapi, Soekarno justru makin lemah. Yang membuat Rachma sedih adalah kenapa hanya diberi vitamin B12, B kompleks, royal jelly, dan duvadilan. Kekecewaan makin bertambah saat Soekarno kritis di RSPAD pada 17 Juni 1970. Rachma menemui ketua tim dokter pribadi, Prof Mahar Mardjono. Sang dokter mengatakan, ”Bapak sudah komplikasi. Ginjal tak berfungsi. Urine menyebar jadi racun dan memicu penyempita­n pembuluh darah. Tekanan darah naik berakibat gangguan pembuluh darah ke otak.” Rachma mendesak, ”Kenapa tidak cuci darah?” Lagi-lagi kecewa saat dijawab, ”sedang dipesan dari Inggris.” Panik. Rachma hanya bisa berpikir, ”Hanya keajaiban Tuhan yang menyembuhk­an bapak.”

Takdir berkata lain. Pada 21 Juni 1970, Soekarno tutup usia dengan membawa rahasia perawatann­ya. Sepanjang hidup Rachmawati, ia trauma mengingat masa-masa akhir bersama ayahnya. Namun, demi bakti, ia lanjutkan cita-cita membangun semangat marhaenism­e. Sebab katanya, ”Bapak: pria yang mengukir batok kepalaku.” (*)

 ?? ILUSTRASI: BUDIONO/JAWA POS ??
ILUSTRASI: BUDIONO/JAWA POS
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia