Anggaran Berlipat demi Jaga Keselamatan
Satu setengah tahun terakhir adalah tahun-tahun yang berat bagi pelaku kesenian. Tak terkecuali pekerja perfilman.
SEGALA aktivitas produksi film harus taat pada syarat protokol kesehatan (prokes) yang ketat. Prosedur prokes serta pemenuhan unsur kesehatan dan keselamatan kerja (K3) sangat penting untuk direncanakan secara detail, diatur, dan ditaati pada masa pagebluk.
Sutradara Fajar Nugros masih ingat betul ribetnya proses syuting film Yowis Ben 3 tahun lalu. Saat itu syuting memasuki hari ketiga di Malang, Jawa Timur. Tiba-tiba, pemkot setempat menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Semua kru harus segera kembali ke Jakarta. Beberapa waktu kemudian, barulah syuting dilanjutkan.
Tidak mudah mengatur 195 kru yang syutingnya berpindahpindah lokasi. Dari Malang, Surabaya, Kediri, Banyuwangi, hingga Solo. Kru berpindahpindah tempat sehingga anggaran transportasi membengkak. Belum lagi sederet aturan prokes lainnya. Misalnya, pembuatan bilik sanitasi, tempat cuci tangan, dan biaya uji usap.
Kerepotan juga dirasakan saat produksi film Balada Si Roy. Film yang diadaptasi dari novel karya Gol A Gong itu mempekerjakan 341 kru. Produksinya juga dilakukan di beberapa kota. Beberapa sopir mobil yang terlibat dalam produksi sempat dinyatakan positif Covid-19. Akhirnya, mereka semua dikarantina.
Tim medis yang bekerja mendampingi produksi film sampai dilarang berakrab-akrab ria dengan kru. Kisah-kisah syuting saat pandemi itu hadir dalam diskusi Gelombang Kedua: Telisik Kesehatan & Keselamatan Kerja Film Kita pada Selasa lalu (13/7).
Nugros yang juga head of IDN Pictures mengatakan, produksi film saat pandemi sangat berat. Selain biaya membengkak, produksi molor. Masalah lain datang ketika pemerintah daerah (pemda) setempat kurang mendukung. Misalnya, ketika tim dibebani administrasi dan perizinan yang rumit di lokasi syuting.
Pandemi ini membuat pelaku perfilman lebih sadar akan pentingnya perencanaan saat praproduksi. Tujuannya, ketika tiba-tiba terjadi hal yang tak diinginkan, ada skenario B, C, dan D yang disiapkan. De-ngan begitu, tim produksi tidak kelabakan.
Hal itu juga diamini Shanty Harmayn. Produser film Akhirat: A Love Story tersebut beberapa kali harus mengubah adegan agar syuting tetap bisa dilakukan dengan mematuhi prokes. Bahkan, ada pemain yang sempat diganti lantaran terpapar Covid-19. Sejumlah improvisasi itu dilakukan demi menaati aturan. Selain itu, demi menjaga kesehatan dan keselamatan semua orang yang terlibat dalam pembuatan film.
Ketua Asosiasi Program Studi Film dan Televisi (Prosfisi) Gerzon Ajawaila mengatakan, kesulitan terutama terjadi pada mahasiswa dengan peminatan film dokumenter. Sebab, ada riset lapangan yang harus dilakukan mahasiswa.
Hal tersebut urung dilakukan karena mahasiswa harus belajar dari rumah. Saat produksi pun, mahasiswa mengalami kesulitan karena harus menjalani syuting di lapangan. Berbeda dengan mahasiswa peminatan film fiksi yang masih bisa syuting di dalam studio, dengan adegan-adegan sederhana yang masih bisa dilakukan dengan menaati prokes.