Jawa Pos

Pengalaman Pendakian ke Gunung Gede Pangrango

Di balik keindahann­ya, gunung kerap menyimpan banyak kisah misteri. Nur Azizah mengenang pendakiann­ya ke Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat, bersama teman-teman kuliahnya yang diselimuti pengalaman mistis.

-

’’Hati-hati ya, jalan terus saja.’’

Secepat kilat suara itu hilang ditelan semesta. Tidak tampak si empunya suara. Hanya kunang-kunang yang mulai terbang, menambah kesunyian malam di Gunung Gede Pangrango kala itu. Perjalanan menuju puncak Gunung Gede terasa tidak ada masalah. Hanya soal keletihan fisik. Istirahat sebentar, tenaga pelan-pelan muncul kembali.

Keanehan mulai muncul esoknya ketika rombongan yang berisi 10 orang menuruni puncak gunung. Waktu itu, matahari mulai tenggelam ke ufuk barat yang menandakan masuk waktu magrib. Namun, rombongan terus berjalan menuruni jalan setapak agar tidak keburu malam demi mengejar bus kembali ke Jakarta.

Tak lama, satu per satu anggota rombongan merasakan kejanggala­n. Salah seorang teman Azizah tiba-tiba tercekat. ’’Itu kok ada kakek-kakek jongkok di pinggir jurang,’’ Azizah menirukan kesaksian temannya yang melihat sosok laki-laki di tengah perjalanan. ’’Mana sih?’’ sahut yang lainnya.

Peristiwa itu terjadi tidak lama selepas magrib. Kata teman Azizah, kakek itu jongkok di sisi kanan jalur pendakian yang hanya berupa jalan setapak berbatu. Wajahnya menunduk.

Jalur pendakian Gunung Gede Pangrango via Cibodas didominasi trek berbatu yang sisi kanan-kirinya adalah hutan lebat atau jurang. Tidak ada sisi jalur lain yang bisa dilewati pendaki.

Gangguan suara dan penampakan wujud beberapa kali dirasakan. Padahal, selama perjalanan turun, tidak ada kelompok lain di sepanjang jalan.

Puncaknya, saat mereka keletihan dan beristirah­at di Pos Panyangcan­gan. Malam sudah semakin larut. Beberapa orang mulai terpisah. Azizah beristirah­at bersama enam temannya. Tiga yang lain sudah berjalan lebih dulu.

Pos itu dikenal seram dan mistis. Saat dia sedang mengatur napas, di belakangny­a terdengar suara batu diketuk-ketuk. Azizah dan seorang temannya hanya saling tatap. Mereka berusaha tenang. ’’Tapi, dari bawah ada orang berteriak memanggil nama teman kami. Jong, Jong, Jong. Keras sekali. Semua dengar dan menyahut,’’ ungkapnya.

Dia pikir itu suara rombongan mereka yang berjalan lebih dulu. Sambil melihat jam, dia ingat betul saat itu tepat pukul 21.00.

’’Yuk lanjut, jangan lama-lama istirahatn­ya,’’ ucapnya.

Rombongann­ya pun kembali berjalan. Kali ini, tidak ada istirahat sampai di pos paling terakhir. Hawa tidak enak terus menyelimut­i pikiran mereka. Yang penting ingin cepat-cepat keluar hutan.

Dari Pos Panyangcan­gan sampai ke pos terakhir, mereka menghabisk­an waktu kurang lebih 4 jam. Biasanya, perjalanan turun dari pos tersebut sampai ke pos terakhir paling lama hanya butuh 2 jam. Itu pun kalau berjalan santai. Estimasi awal, total mereka perlu 5–6 jam untuk menuruni Gunung Gede Pangrango.

Namun, waktu itu mereka melakukan perjalanan turun mulai sore hingga lewat tengah malam. ’’Kok kalian lama banget? Kami udah istirahat di sini dari jam 9-an,’’ kata Umar, salah seorang teman yang memisahkan diri untuk turun duluan saat Azizah dan lainnya beristirah­at.

Kejanggala­n demi kejanggala­n baru mulai diceritaka­n di perjalanan pulang menuju Jakarta. Meski sudah lewat tengah malam, mereka tak berniat menginap lagi di area gunung itu.

Setelah direnungka­n, keanehan di dalam hutan itu terjadi akibat ulah mereka sendiri. Selama perjalanan, mereka tak berhenti bercanda dan bicara yang aneh-aneh. Sompral. Tidak menjaga perkataan dan sering bercanda, saling meledek.

Selain itu, beberapa anggota tim baru pertama kali melakukan pendakian. Mereka terus-menerus mengeluh. Padahal, konon di gunung tidak boleh mengeluh. Semakin mengeluh, perjalanan jadi semakin berat.

 ?? BUDIONO/JAWA POS ??
BUDIONO/JAWA POS
 ?? ILUSTRASI: BUDIONO/JAWA POS ??
ILUSTRASI: BUDIONO/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia