Jawa Pos

Indonesia Bisa Pungut Pajak 100 Perusahaan Multinasio­nal

Indonesia Bisa Pungut Pajak 100 Perusahaan Multinasio­nal

-

JAKARTA, Jawa Pos – Para menteri keuangan dan gubernur Bank Sentral G20 menyepakat­i reformasi sistem perpajakan global. Kesepakata­n tersebut terkait dengan upaya pemajakan kepada perusahaan multinasio­nal, termasuk perusahaan­perusahaan teknologi.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu menuturkan, adanya kesepakata­n itu membuat hak pemajakan lebih adil dan berkekuata­n hukum. ”Indonesia memiliki kesempatan untuk memperoleh tambahan pemajakan atas penghasila­n dari setidaknya 100 perusahaan multinasio­nal yang menjual produknya di Indonesia,” ujarnya di Jakarta kemarin (16/7).

Febrio menjelaska­n, hal itu disebabkan adanya dua pilar penting dalam kesepakata­n tersebut sehingga bisa mengatasi base erosion profit shifting (BEPS) yang merupakan tantangan pemajakan yang selama ini terjadi di negara-negara di dunia. ”Hal itu akibat adanya praktik penghindar­an pajak yang dilakukan perusahaan multinasio­nal,” imbuhnya.

Praktik itu dilakukan dengan merancang perencanaa­n pajak secara agresif sehingga menimbulka­n hilangnya potensi pajak bagi negara. Kerugian potensi pajak negara-negara secara global diperkirak­an USD 100–240 miliar atau setara dengan 4–10 persen PDB global.

Febrio menyebutka­n, pilar pertama, RI sebagai salah satu negara pasar dari perusahaan multinasio­nal berkesempa­tan mendapatka­n hak pemajakan atas penghasila­n global yang diterima perusahaan multinasio­nal. Syaratnya, perusahaan itu berskala besar minimum bernilai EUR 20 miliar. Juga, memiliki tingkat keuntungan yang tinggi. Yakni, minimal 10 persen sebelum pajak.

Sebelum adanya kesepakata­n pilar pertama, negara pasar dapat memajaki suatu perusahaan multinasio­nal jika mereka memiliki bentuk usaha tetap (BUT). Hal itu memicu kesulitan atau kecilnya kemungkina­n untuk memungut pajak. ”Namun dengan adanya kesepakata­n pilar pertama, hak pemajakan negara pasar tidak lagi terkendala ketentuan terkait BUT tersebut,” tambah Febrio.

Selanjutny­a, kesepakata­n pilar kedua ditujukan untuk mengatasi isu BEPS lainnya dengan memastikan perusahaan multinasio­nal (minimum omzet konsolidas­i EUR 750 juta) membayar pajak penghasila­n dengan tarif minimum 15 persen di negara domisili.

Kemudian, pilar kedua menghilang­kan adanya persaingan tarif pajak yang tidak sehat atau yang dikenal dengan race to the bottom. Hal itu diharapkan menghadirk­an sistem perpajakan internasio­nal yang lebih adil dan inklusif. ”Dengan batasan atau threshold tersebut, Indonesia berpeluang untuk mendapatka­n tambahan pajak dari perusahaan multinasio­nal domisili Indonesia yang memiliki tarif pajak penghasila­n efektif di bawah 15 persen,” tutur Febrio.

Dirjen Pajak Suryo Utomo menyebutka­n, pihaknya berhasil mengumpulk­an penerimaan pajak pertambaha­n nilai (PPN) perdaganga­n melalui sistem elektronik (PMSE) Rp 2,38 triliun. Nilai itu terdiri atas penerimaan PPN PMSE pada 2020 sebesar Rp 731,4 miliar dan semester I tahun 2021 sebesar Rp 1.647,1 miliar. ”Sejak penunjukan pemungut PPN PMSE gelombang pertama pada bulan Juli 2020 hingga gelombang sebelas pada bulan Juni 2021, terdapat 75 pelaku usaha yang menjadi pemungut PPN PMSE,” jelasnya.

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia