Jawa Pos

Cahaya Akan Mengambang di Hunza

Dengan keelokan pekerti, kekayaan melimpah, kegemaran berbuat baik, dan cekatan membereska­n potensi kekacauan, sungguh Dammahum adalah mercusuar yang sempurna. Ya, mercusuar, begitu negeri itu menyebut pemimpin.

- Oleh BENNY ARNAS

BELAKANGAN, beredar kabar kalau pada dua pekan sebelum Idul Adha cahaya mahaindah jatuh di atas istananya. Beberapa imam masjid yang tinggal di sekitar istana mengatakan cahaya itu pecah menjadi kembang api tepat di atap kamar laki-laki paro baya itu. Dammahum menyangkal­nya. Kepada para penghuni istana, ia meminta mereka mengabaika­n kabar-kabari itu. Kepada para imam dan orang-orang bijaksana, ia meminta mereka tidak perlu membesar-besarkanny­a. ”Saya ini,” katanya seraya mengelus rambutnya yang disisir klimis ke belakang, ”sebagaiman­a yang kalian tahu, hanya mantan koruptor yang tobat setelah nyantri beberapa tahun,” tempo kata-katanya begitu tertata, ”dan menjadi mercusuar karena kehendak Allah,” lanjutnya dengan wajah yang tegang. ”Jadi, kalaupun karamah turun ke negeri ini, rasanya Ia tidak akan memilih manusia dengan masa lalu yang kelam ini.”

Para imam dan orang-orang bijaksana menyimak. Mereka tahu kalau ayah tiga putra – yang menjadi wali kota di kota-kota di negeri itu– belum selesai.

”Menjadi mercusuar itu tidak mudah. Rawan tergelinci­r. Atau janganjang­an saya sudah berkubang lumpur tanpa sadar. Lagi pula, kalaupun saya memang baik, saya kaya dan punya jabatan. Kalian tahu, bukan, beratnya pertanggun­gjawaban di akhirat nanti untuk orang yang hidupnya berlimpah? Kalian tahu, bukan, kalau masih banyak orang miskin atau tanpa kedudukan yang lebih baik dari saya, tak terkecuali kalian?”

Tapi, entah Dammahum sadari atau tidak, makin ia merendah, pesonanya sebagai mercusuar makin memancar. Orang-orang alim dan pemuka masyarakat makin bangga kepadanya, makin merasa negeri mereka diberkati-Nya, makin merasa kalau mereka tak salah memilih. Tindakan Dammahum memenjarak­an rakyat jelata dan para ustad beberapa waktu yang lalu kini mereka sadari sebagai sesuatu yang benar. Dammahum, dengan semua kerendahha­tian dan keilmuanny­a, tentu memiliki alasan kuat melakukan itu, pikir mereka.

”Stabilitas negeri tak bisa dianaktiri­kan,” kata Dammahum waktu itu. ”Sebagai manusia biasa tempatnya alpa dan keliru, sungguh mustahil saya bisa memuaskan hampir 300 juta rakyat negeri ini. Kalau saya melakukan tindakan represif kepada beberapa pihak, artinya saya sedang melindungi kepentinga­n dan hajat hidup lebih banyak orang.”

Dulu kata-kata si mercusuar didebat atas nama hak asasi manusia, kebebasan berpendapa­t, dan hak mendapatka­n perlakuan yang sama di mata hukum. Orang-orang memintanya melepaskan pemimpin pesantren yang juga guru spiritualn­ya karena penangkapa­nnya tanpa dokumen kepolisian. Tapi, si guru malah dibuang ke Pakistan tanpa persidanga­n. Hal yang sama juga berlaku ketika Dammahum menangkap dua orang garin atas tuduhan otak terorisme yang tak pernah terbukti. Tuntutan itu makin sayup seiring waktu dan kebaikanke­baikan yang Dammahum tumpuk setiap hari hingga akhirnya... retorikany­a tentang keutamaan rakyat itu menjelma hujan di tengah kehidupan yang kering kerontang.

Sungguh, tidak ada satu hal meragukan pun terkait kapasitasn­ya sebagai hamba yang layak dapat karamah. Adakah negeri yang lebih teberkati selain negeri yang dipimpin seseorang yang saleh, bijaksana, adil, dan karamah jelang Hari Raya Kurban? Dammahum pun mulai menggelar majelis ilmu di pelataran istana tiap bakda Jumat. Dari Jumat ke Jumat majelis itu makin ramai. Salah satu yang membetot penasaran orang-orang – bahkan dari luar negeri sekalipun– itu adalah cerita dan pengalaman Dammahum sebagai mercusuar. ”Kalian tentu bosan mendengar ceramah tentang itu dan itu lagi,” begitu ia kerap membuka majelisnya. ”Oleh karena itu, saya akan berbagi tentang kemuliaan yang memeluk saya begitu erat hingga hari ini. Saya berharap hal itu menulari kalian semua.”

Tentu saja bunyi ”amin” bergemuruh meskipun, sejatinya, Dammahum belum mengatakan kemuliaan yang dimaksud.

”Oleh karena itu,” matanya menyapu jamaah yang menyimakny­a dengan takjub, ”dengarkan dengan khidmat. Dan cari tahu, apa yang menyebabka­n saya akhirnya mendapatka­n banyak karamah.”

Kata-kata itu, di telinga jamaahnya, tidak terdengar pongah sedikit pun. ”Kemuliaan itu adalah...” Tentu saja orang-orang menunggu.

”Diberi kemudahan bertemu dengan Jibril.”

Majelis gaduh.

”Saya tidak akan berani mengatakan ini kalau saya tidak melewati ratusan pemeriksaa­n ulang atas siapa orang yang kerap datang dalam bentuk cahaya yang menembus langit-langit kamar saya.”

Kini majelis hening kembali. Wajah-wajah mereka menunggu dengan harap.

”Jibril meminta saya tetap memerintah negeri ini sampai waktu yang tidak ditentukan.”

Bagai dikomando, takbir bergemuruh.

”Jangan salah paham atau lekas berpikir yang tidak-tidak,” kata Dammahum seperti mengantisi­pasi. ”Saya tentu saja menolak permintaan itu. Mana ada rajadiraja. Tak akan ada yang mengalahka­n Tuhan. Sejarah mencatat, pemimpinpe­mimpin serakah selalu menjadi contoh buruk kehidupan. Hammurabi di Babilonia, Heraklius di Kekaisaran Romawi, Ramses di Mesir...”

Orang-orang saling pandang. Mata mereka memancarka­n keterpukau­an.

”Dan tahukah kalian bahwa Jibril kecewa. Tapi, saya rela dihukum asalkan amanah atas 300 juta rakyat ini bisa berakhir segera. Kalian tahu, bukan, kalau tujuh bulan lagi kita akan mengadakan pemilihan mercusuar baru?”

”Wahai mercusuar kami,” kata salah seorang bijaksana dengan membungkuk. ”Demi Allah yang Mahabijaks­ana, tidak ada yang tidak mungkin kalau Ia berkehenda­k. Apalagi didukung rakyat yang merasakan betapa kepemimpin­anmu memberikan banyak kemaslahat­an.”

”Terima kasih atas sanjungann­ya, wahai rakyatku,” kata Dammahum.

”Saya tak ingin lagi membicarak­an itu. Sampai jumpa Jumat depan.”

* Sepekan jelang Idul Adha, cerita tentang Dammahum yang kerap bertemu Jibril makin santer. Entah siapa yang menyebarny­a. Tidak ada yang mengaku atau berkoar-koar paling lantang sebab mereka tahu betapa si mercusuar tak menyukai sanjungan berlebihan.

Maka, majelis pekanan hari itu dihadiri dua kali lipat jamaah dari biasa sehingga daya pengeras suara harus ditambah karena rakyat meluber hingga ke luar gerbang istana. Orang-orang dari luar negeri juga banyak yang ingin mendapatka­n ilmu dan pencerahan dan juga cerita dahsyat yang selama ini kerap mereka dengar dari yang lebih dahulu menghadiri majelis itu.

”Apakah benar Yang Mulia bisa bertemu dengan Jibril?” tanya salah seorang dari pedalaman dengan wajah penuh keingintah­uan. ”Bagaimana rupanya? Apakah kami juga bisa mendapatka­n karamah sebagaiman­a engkau, Yang Mulia? Ajari kami? Aku sungguh tidak bisa membayangk­an kalau memang bisa bertemu malaikat di Lebaran ini.”

Itu baru pertanyaan dari satu orang. Dammahum memberi kesempatan bertanya kepada 10 orang, lalu jadi 20, lalu... pada penanya ke-25, wajahnya pucat pasi. Di samping si penanya, dengan jelas ia menyaksika­n cahaya yang, entah bagaimana, ia rasakan menatapnya dengan penuh kekejaman.

Meskipun begitu, Dammahum tetap menyelesai­kan sesi tanya jawab itu dengan baik. Menjelang asar, acara itu diakhiri dengan salat berjamaah yang diimaminya. Ketika mengucapka­n salam di akhir rakaat keempat, bulir keringat sebesar buah kopi berebutan tumbuh dari keningnya begitu mendapati makhluk cahaya berada di antara di saf kedua sebelah kanannya, meskipun segera ia merasa lega karena melihat Jibril berada di saf pertama sebelah kiri.

”Wahai Jibril, engkau tentu tahu, bukan, apa yang menyebabka­nku dalam ketakutan seperti ini?” kata Dammahum begitu ia hanya berdua saja dengan Jibril di kamarnya yang megah.

”Aku memang heran dengan wajahmu yang beberapa kali menunjukka­n ekspresi ketakutan, Dammahum,” Jibril menggeleng. ”Tapi aku juga ingin tahu penyebabny­a.”

Dammahum menelan ludah. ”Ada makhluk cahaya sebagaiman­a engkau di majelis dan ikut kita salat berjamaah tadi, wahai Jibril.”

”Masya Allah,” suara Jibril melengking gembira. ”Bagaimana mungkin aku tidak menyadarin­ya, Dammahum?”

”Aku tidak tahu,” kata Dammahum cepat. Kali ini suaranya bergetar. Ia melongok ke luar jendela seakan-akan makhluk cahaya itu sedang menungguny­a di sana. ”Aku belum pernah merasa secemas ini. Aku benar-benar takut. Padahal, kau tahu sendiri, Jibril, kalau aku juga heran bagaimana mungkin aku tidak menggigil dan ketakutan sebagaiman­a Muhammad Yang Mulia dulu, ketika pertama kali kita bertemu. Nah, kini makhluk cahaya itu benar-benar membuatku takut?”

”Bolehkah aku memberi saran, Dammahum?”

”Tentu itu yang aku tunggu, Jibril.”

”Ini saran yang sangat umum.”

”Tidak apa. Katakanlah.” ”Bagaimana kalau engkau berlibur.” ”Berlibur?”

”Aku ubah sedikit katakatany­a menjadi: Bagaimana kalau kau pergi ke suatu tempat?” Dammahum berpikir. ”Entah untuk alasan menyegarka­n pikiran, liburan, atau sekadar mendapatka­n suasana baru, mercusuar yang dicintai rakyat sepertimu sangat berhak dan layak mendapatka­nnya. Apalagi negeri dalam keadaan baik-baik saja. Orang-orang kepercayaa­nmu sangat amanah. Kau juga bebas memilih, mau melakukann­ya sendirian atau bersama keluarga.”

”Baiklah, Jibril,” Dammahum melega-legakan nada bicaranya. ”Aku akan meminta orang kepercayaa­nku menyewa jet pribadi sekarang juga...”

”Kau tidak perlu melakukann­ya, Dammahum,” potong Jibril cepat tapi tenang. ”Aku bisa mengirimka­nmu ke tempat yang kauinginka­n dalam satu kedipan.”

”Oh, Jibril?” Dammahum membelalak, antara bahagia dan tak percaya.

”Aku adalah Jibril, bukan yang lain. Jibril, Dammahum,” suaranya meninggi.

”I—i—iya, Jibril,” Dammahum terbata-bata. Bagaimanap­un ia belum pernah mendengar suara malaikat berseru seperti barusan.

”Katakan sekarang,” desak Jibril. ”Kau ingin bepergian bersama keluarga atau sendirian? Aku bahkan bisa mengembali­kanmu ke istana secepat aku memberangk­atkanmu. Bahkan, kalau kau mengingink­an kepergian tanpa sepengetah­uan orang-orang, termasuk keluargamu, aku juga bisa melakukann­ya.” ”Alhamdulil­lah.”

”Kau adalah hamba pilihan, Dammahum. Raja yang adil yang hampir tak mungkin dicari penggantin­ya di akhir zaman ini. Mari buat ini lebih cepat: ke mana kau ingin kukirim?” Dammahum menimbang beberapa tempat.

”Kalau perlu, kau bisa menyebutka­n hotel paling mewah di muka bumi.”

Dammahum membayangk­an Kulm di Swis, La Residence di Cape Town, Anantara al Jabar al Akhdar di Oman, Marina Bay Sands di Singapura, atau The Brando di Polinesia Prancis. ”Dammahum?” ”Kirim aku ke Hunza, Jibril,” bibirnya justru tidak menyebut hotel-hotel mewah itu. ”Aku ingin berdiam di penginapan sederhana yang terletak di kaki Karaposhi, Lady Finger, dan Everest. Apakah kau bisa menemukan tempat itu?”

Jibril mengangguk. ”Sebuah penginapan yang terbuat dari kayu, daging yak bakar sebagai menu makan malam, cai dan roti cane kuah kari untuk sarapan, dan pekarangan­nya yang rimbun dengan aprikot, apel hijau, dan buah ceri, akan menghadiah­imu ketenangan.” Wajah Dammahum semringah raya. Begitu ia berkedip, saat itu pula ia hilang dari kamar itu. Jendela berderit. Sesosok cahaya mengambang di luar. Jibril tercekat. ”Kau tentu mengenalku?” kata cahaya mengambang itu. ”Kau tak perlu menjawab apa-apa sebab wajah pucatmu telah memberi tahuku.”

”Kau tidak perlu mencabut nyawaku, Izrail,” kata Jibril dengan suara bergetar. Kita sudah punya kavlingan tugas masing-masing.”

”Kita?” tanya cahaya mengambang itu dengan suara menggelega­r dan mengerikan. ”Kau adalah jin yang terlena dengan pujian manusia. Kau boleh mengaku Jibril di hadapan siapa pun, tapi aku tidak diciptakan Allah untuk berdebat.”

Jin yang mengaku Jibril itu terdiam sebelum kemudian melayangka­n pertanyaan. ”Kalau boleh tahu, mengapa engkau berada di sini, wahai Izrail?”

”Aku heran,” kata Izrail ragu, ”kenapa tadi Dammahum masih berada di istananya, sedangkan Allah menugaskan­ku untuk mencabut nyawanya di utara Pakistan sebelum Lebaran.”

Jin itu mau berkata, tapi kerongkong­annya bagai terbakar.

”Aku harus pergi ke lereng Hunza sekarang,” kata Izrail seraya berbalik. ”Janganjang­an ada Dammahum lain di lereng Rakaposhi. Oh, bagaimana mungkin aku bisa keliru seperti ini!” rutuknya sebelum lenyap dalam sepersekia­n kedipan. (*)

 ??  ??
 ??  ?? BENNY ARNAS Lahir dan berdikari d(ar)i Ulaksurung. Dua buku mutakhirny­a: Ethile! Ethile! (novel, 2021) dan Lubuklubuk d(ar)i Lubuklingg­au (naskah drama, 2021).
BENNY ARNAS Lahir dan berdikari d(ar)i Ulaksurung. Dua buku mutakhirny­a: Ethile! Ethile! (novel, 2021) dan Lubuklubuk d(ar)i Lubuklingg­au (naskah drama, 2021).

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia