Saya Tidak Pernah Berhenti Mengamati Pemilu
Nama Ramlan Surbakti sangat lekat dengan dunia kepemiluan di Indonesia. Dia pernah menjadi pimpinan KPU RI di era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Bagaimana kabarnya sekarang?
Setelah dari KPU tahun 2007, aktivitasnya apa saja, Prof?
Setelah selesai di KPU Oktober 2007, saya kembali ke kampus. Sempat juga dilamar kemitraan, NGO. Jadi, dua sampai tiga hari dalam seminggu saya di kemitraan. Itu sampai 2015 ya. Setelah 2015 sepenuhnya di kampus (FISIP Universitas Airlangga Surabaya, Red).
Menjadi pendidik setelah punya pengalaman sebagai penyelenggara, apa bedanya?
Saya merasa beruntung pernah menjadi penyelenggara pemilu. Setelah itu bisa fokus pada pengembangan ilmunya. Ketika mempelajari ilmu tata kelola pemilu, saya tidak lagi hanya menuruti text book. Pernah menyelenggarakan, jadi tahu riilnya. Kalau diskusi internasional tentang kepemiluan dari kampus, saya punya untung karena tidak hanya mengkaji secara akademis, tapi juga pernah menyelenggarakan pemilu negara terbesar di dunia.
Bagaimana Anda melihat KPU yang sekarang?
Kebetulan saya dua kali ikut menjadi panitia seleksi. Hasil seleksi yang dilakukan tim saya masih yang menjabat di KPU periode sekarang dan sebelumnya. Jadi, baik jeleknya tentu kami ikut bertanggung jawab. Dari segi kemampuan teknis, saya melihat mereka baik, tidak lepas dari apa yang telah kami letakkan pada 2001 hingga 2007.
Tapi, dalam setiap penyelenggaraan pemilu selalu ada perubahan. Lima tahun sekali undangundang direvisi sehingga tentu ada hal baru. Dulu belum ada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Tapi, kami sudah menetapkan kode etik pada 2003. Kalau misalnya ada yang melanggar, kami membentuk dewan ad hoc. Dulu panitia pengawas juga bagian dari KPU. Sekarang independen.
Enak sebagai penyelenggara atau memantau dari luar?
Ya dari luar pun kami membantu penyelenggaraan dan memberi masukan kalau ada perubahan UndangUndang (UU) Pemilu. Produk terakhir kami adalah naskah akademis RUU Pemilu yang sekarang disiapkan. Yang pasti, saya tidak pernah berhenti mengamati pemilu, termasuk KPU, Bawaslu, dan apa yang dikerjakan DPR. Tapi, dari segi akademisi, untungnya adalah pernah jadi penyelenggara.
Kabarnya dulu Anda diusulkan Gus Dur?
Diusulkan menteri dalam negeri karena saya pernah menjadi ketua tim revisi UU Pemilu. Mendagri mengatakan apakah saya bersedia dicalonkan kepada Presiden Gus Dur. Saya setuju saja. Saya dan Gus Dur kan sudah kenal sebelum beliau menjadi presiden. Beliau akhirnya menerima saya. Gus Dur kemudian diberhentikan MPR dan digantikan Bu Mega. Saya bisa disebut menangani pemilu di era Presiden Gus Dur, Megawati, dan SBY.
Apa kenangan paling berkesan?
Pemilu di Indonesia itu punya tantangan distribusi logistik yang berat. India memang lebih besar. Tapi, dari segi distribusi logistik, Indonesia tidak ada tandingannya karena bentuk wilayah kepulauan yang terpisahpisah oleh lautan.
Di forum-forum internasional, negara lain bertanya bagaimana cara kami mendistribusikan logistik pemilu. Saya terangkan saja, semua sarana transportasi digunakan. Termasuk kapal sampai kereta kuda. Ada kotak suara yang diantar hingga tiga hari perjalanan. Ada juga TPS di sebuah daerah yang tidak bisa menyelenggarakan pemungutan suara pada hari yang sama karena logistik belum sampai. Tapi, itu tidak terlalu banyak. Sebab, kita selalu memprioritaskan lebih dulu logistik untuk daerah-daerah yang jauh.
Masih sering berkomunikasi dengan rekan komisioner yang dulu?
Sudah enggak. Yang sering kontak hanya dua. Ibu Valina (Singka) dan mantan menteri hukum dan HAM yang dari Sulawesi Selatan (Hamid Awaludin). Dua orang itu saja.
Pemilu 2024 diprediksi agak sulit. Kalau diminta turun gunung bantu-bantu mau, Prof?
Kalau saya lihat ada problem, tanpa diminta pun, saya akan turun tangan. Pada Pemilu 2019 saya bicara dengan Ketua KPU Arief Budiman karena terus terang saya cemas. Di UU Pemilu disebutkan, kapasitas maksimal satu TPS adalah 500 pemilih. Padahal, pemilunya serentak. Lima pemilihan sekaligus.
Saya cemas karena UU menyebutkan bahwa pemungutan dan penghitungan suara harus selesai dalam satu hari. Saya khawatir tidak bisa selesai. Bisa-bisa hasil pemilu tidak dihargai. Lalu diusulkanlah agar jumlah pemilih untuk tiap TPS diturunkan menjadi 300. Tanpa diminta pun saya turun tangan. Anggota KPU, secara pribadi, kalau ada apa-apa bisa telepon saya untuk bertanya dan sebagainya. Hubungan saya dengan anggota KPU sekarang dan sebelumnya tak pernah putus.