Minimalkan Emosi dan Sikap Represif
Tujuh keliling bunda ketika anak dikasih tahu, tapi atau keras kepala? Beragam cara sudah dilakukan, sayangnya hasil nihil. Psikolog anak Asteria R. Saroinsong mengatakan, anak cenderung penuh ekspresi. Orang tua perlu memahami kondisi terlebih dulu. Kare
ADA tiga pertanyaan dari para ibu yang sempat mengalami fenomena buah hati keras kepala. Berikut obrolan Jawa Pos dengan Asteria, psikolog sekaligus wakil ketua Yayasan Advokasi dan Sadar Autisme Surabaya.
Bagaimana sikap orang tua ketika si kakak sedang keras kepala dan tanpa disadari si adik melihat, lalu merekam tingkah kakaknya?
Saat anak sedang keras dengan kemauan atau pendapatnya dan diekspresikan dengan cara yang tidak tepat, misal, berteriak hingga membanting barang-barang, orang tua punya tugas untuk mengedukasi anak.
Pertama, tenangkan anak dulu. Kedua, setelah tenang, tanyakan perasaan anak apa yang dirasakan. Ketiga, apa yang anak pikirkan tentang hal yang membuatnya tidak nyaman. Saat anak menceritakan, orang tua harus mendengarkan sampai tuntas. Tunjukkan dengan mendengarkan sungguh-sungguh. Tidak sambil lalu.
Apabila ada yang tidak jelas, orang tua bisa bertanya untuk mengonfirmasi apa persepsi anak dan orang tua. Setelah tahu perasaannya, masalahnya, dan cara berpikirnya, baru orang tua memberi tahu anak.
Apa saja yang perlu diberitahukan? Tentang permasalahannya, apa yang harus anak lakukan ketika menghadapi permasalahan itu? Kemudian, ajarkan bagaimana mengenali perasaanya dan ajarkan cara menyampaikan pendapat atau argumennya yang tepat.
Misalnya, adik nggak suka ya mainan adik direbut, adik jadi pengin marah ya? Kalau adik tidak suka tidak apa-apa, adik bilang aja ngomong supaya tahu. Adik nggak perlu teriak atau banting mainan. Nanti malah anaknya tidak tahu maksud adik. Dan, mainan adik jadi rusak. Sayang kan? nurut.
Ketika orang tua membentak, lalu anak menurut, tanpa disadari orang tua sedang memberi contoh kepada anak. Bahwa membentak adalah contoh cara yang sah untuk menyelesaikan masalah. Apabila ada masalah, bisa jadi anak akan meniru apa yang dilakukan orang tuanya (berteriak, suara keras, dan lain-lain).
Dengan membentak, mungkin anak menurut. Tetapi, bisa jadi menurut hanya karena takut orang tua marah, takut konsekuensi bila orang tua sedang marah. Namun, anak tidak tahu apa sebenarnya alasan dirinya tidak boleh melakukan hal tersebut.
Sebetulnya, harapannya ketika anak terbiasa diajarkan memahami alasan mengapa dia harus bertindak, itu berdampak positif. Anak bisa punya kontrol akan perilakunya sendiri. Dengan demikian, anak mau di mana saja, ada orang tua atau tidak akan bersikap seperti yang seharusnya. Sebab, anak tahu alasannya. Bukan karena takut dimarahi atau takut karena ada figur-figur orang tertentu.
Anak tidak mau makan. Keras kepala main gim (game) mulu. Orang tua nggak didengarkan. Justru, orang tua malah dibentak. Apa yang harus dilakukan orang tua?
Ketika kita melakukan hal yang menyenangkan, tiba-tiba disuruh berhenti tentunya ada perasaan tidak suka. Orang dewasa mungkin sudah bisa mengontrol perilakunya. Sementara itu, anak-anak cenderung lebih ekspresif. Dengan begitu, respons perilaku yang keluar begitu saja. Seperti berteriak, marah pada orang tua, hingga menangis.
Nah, anak-anak adalah masa butuh bimbingan orang tua. Ada dua hal yang perlu dipahami. Pertama, orang tua bisa ajak anak membuat kesepakatan bersama. Misalnya, adik boleh main, tapi nanti pukul 15.00 berhenti ya. Kedua, jelaskan alasannya. Mengapa anak harus begitu? Adik kalau main gim tidak boleh lama-lama biar matanya sehat dan tidak capek. Jadi, ada waktunya untuk istirahat.