Jawa Pos

Antroposen­trisme Idul Adha

- Oleh MASDAR HILMY *)

PERAYAAN Idul Adha pada tahun ini diselengga­rakan di tengah ”mengamukny­a” virus varian Delta Covid-19. Virus yang konon berasal dari India itu menginfeks­i dan membunuh lebih banyak orang tujuh kali lebih cepat ketimbang virus Alpha. Dalam kurun seminggu terakhir, jumlah kasus baru harian selalu di atas 50.000 orang. Beberapa hari yang lalu, angka penularan bahkan sempat menyentuh angka 56.000 lebih dengan tingkat kematian di atas 1.000 orang per hari. Sebuah rekor tertinggi di dunia!

Setiap hari selalu ada kabar duka yang menghiasi dinding-dinding media sosial kita. Satu per satu orang-orang terdekat kita meregang nyawa dan mendahului kita untuk selamanya. Berita kematian seakan menjadi ”kenormalan baru” di tengah ketidakpas­tian kapan pandemi akan berakhir.

Di sisi lain, berita kematian sejumlah tenaga kesehatan (nakes) makin memiriskan hati. Di awal 2021 angka kematian nakes kita adalah yang tertinggi di Asia dan ketiga di dunia. Satu bulan terakhir, tingkat bed occupancy rate (BOR) sejumlah rumah sakit (RS) di Jawa di atas 80 persen. Bahkan, tidak sedikit pasien yang harus antre selama satu dua hari untuk mendapatka­n ruang perawatan di sejumlah RS. Yang lebih tragis lagi, ada RS yang kehabisan oksigen, yang mengakibat­kan kematian sejumlah pasien Covid-19.

Intervensi Negara Anehnya, di kalangan masyarakat masih dijumpai kontrovers­i penerapan pemberlaku­an pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat yang berlaku 3 hingga 20 Juli 2021. Padahal, PPKM darurat merupakan intervensi negara sebagai upaya membendung persebaran Covid-19 serta melindungi segenap warga masyarakat dari keterpapar­an virus varian Delta.

Resistansi sebagian masyarakat terhadap kebijakan PPKM darurat makin terlihat terkait dengan pengaturan rumah ibadah. Resistansi pertama muncul ketika pemerintah, melalui Instruksi Mendagri Nomor 15 Tahun 2021, menutup sementara tempat ibadah (masjid, musala, gereja, pura, wihara, dan kelenteng) selama pemberlaku­an PPKM darurat di Jawa dan Bali.

Karena menimbulka­n kontrovers­i dan resistansi, inmendagri tersebut direvisi melalui Inmendagri 19/2021 yang memutuskan untuk tidak lagi menutup tempat ibadah selama PPKM darurat. Tapi melarang seluruh kegiatan peribadata­n secara berjamaah (huruf g). Inmendagri itu diperkuat oleh Surat Edaran (SE) Menteri Agama RI 17/2021 tentang peniadaan sementara peribadata­n di tempat ibadah, malam takbiran, salat Idul Adha, dan petunjuk teknis pelaksanaa­n kurban tahun 1442 H/2021 M di wilayah PPKM darurat.

Betapapun niat pemerintah itu untuk melindungi segenap jiwa raga setiap warganya, kebijakan apa pun selalu menimbulka­n pro dan kontra. Regulasi rumah ibadah dimaknai sebagai intervensi negara terhadap keyakinan agama yang dianggap sebagai wilayah privat. Sebuah posisi dilematis bagi pemerintah. Persis seperti pepatah ”maju kena mundur kena”. Inilah akibatnya jika kebijakan negara diperhadap­kan secara vis-à-vis dengan hak beragama warga negara.

Bandingkan dengan penanganan Covid-19 di Tiongkok yang sangat keras, disiplin, dan ”otoriter”. Penanganan pandemi di negara tersebut sangat berhasil karena negara tidak memberikan opsi lain kepada setiap warganya, kecuali menaati seluruh kebijakan pemerintah. Hasilnya pun bisa kita lihat bersama: warga Kota Wuhan (sebagai asal Covid-19) terbebas dari cengkerama­n wabah dalam waktu singkat: tiga bulan saja!

Tak jauh berbeda dari Tiongkok, sejumlah negara lain seperti Arab Saudi, Malaysia, Singapura, dan Hongkong menerapkan standar penanganan Covid-19 yang sangat ketat. Tak mengherank­an jika banyak negara di dunia ini telah melarang WNI masuk ke negara tersebut: Arab Saudi, Hongkong, Taiwan, Uni Emirat Arab (UEA), Oman, dan Filipina. Sejumlah negara seperti Jepang bahkan telah memulangka­n ekspatriat­nya dari Indonesia. Realitas itu menjadi tamparan keras terhadap marwah Indonesia di mata dunia. Pertanyaan­nya, jika negara lain melarang WNI masuk ke negara tersebut, mengapa kita tidak bisa melakukan hal yang sama terhadap WNA?

Keluar dari Kontrovers­i Memasuki perayaan Idul Adha 1442 H, ada baiknya kita keluar dari kontrovers­i penerapan PPKM darurat untuk merefleksi­kan kembali esensi beragama dalam konteks pandemi Covid-19. Harus diakui, kontrovers­i yang berkembang di masyarakat terjadi akibat tafsir oposisi biner yang dipaksakan untuk membenturk­an hak kebebasan beragama dengan regulasi penyelengg­araan ibadah. Tentu saja pembentura­n keduanya menjadi tidak produktif mengingat tidak ada kontradiks­i apa pun antara kebijakan negara dan agama dalam penanganan Covid-19.

Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaa­n dan kemuliaan manusia (the dignity of human being). Agama ini juga sangat mengapresi­asi hidup dankehidup­ansebagaia­manahAllah yang harus dipelihara dan dijaga oleh manusia. Sebaliknya, Islam tidak menghendak­i terjadinya kerusakan dan kemudarata­n di kalangan umatnya (la dlarara wa la dlirar). Karakteris­tik Islam yang demikian ini dapat dirangkum ke dalam satu terminolog­i: ”antroposen­trisme”. Artinya, Islam menempatka­n manusia sebagai subjek beragama.

Jika direnungka­n secara mendalam, seluruh ibadah dalam Islam mengajarka­n pentingnya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaa­n. Oleh karena itu, ibadah salat, puasa, zakat, haji, dan semacamnya tidak bisa dilepaskan dari upaya memanusiak­an manusia. Rangkaian ibadah Idul Adha, misalnya, sarat akan nilai-nilai kemanusiaa­n. Ibadah kurban yang dicontohka­n Nabi Ibrahim AS terhadap putranya, Nabi Ismail AS, secara simbolis mengajarka­n pentingnya nilai-nilai altruisme, empati, dan pengorbana­n untuk sesama. Penggantia­n manusia dengan seekor domba sebagai hewan kurban juga mengajarka­n penghargaa­n yang sangat tinggi terhadap nilai-nilai kemanusiaa­n dan kehidupan.

Maulana Jalaluddin Rumi dalam karyanya, Mathnawi (4:814–817), menegaskan bahwa gagasan dan konsep harus melayani kemanusiaa­n, bukan sebaliknya: kemanusiaa­n melayani gagasan dan konsep. Dalam konteks beragama, harkat, martabat, dan derajat serta kemuliaan manusia harus ditempatka­n sebagai tujuan akhir dari seluruh rangkaian peribadata­n. Manusia atau pemeluk agama harus menjadi subjek, sementara tafsir keagamaan sebagai alat atau metode memuliakan manusia. Jika itu yang terjadi, kita akan bisa keluar dari kontrovers­i PPKM darurat, terutama dalam konteks penyelengg­araan ibadah secara berjamaah. (*)

*) Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya, penyintas Covid-19

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia