Jawa Pos

Hari Penyembeli­han Ego Diri

- Oleh SUPARTO WIJOYO *)

ADALAH Ibrahim Ibn Aazar (dilahirkan di Kota Ur, Iraq, 2166 SM) dan Ismail (lahir di Kota Hebron, Palestina, 2080 SM) sebagai aktor utama peradaban penanda Idul Adha. Dwifigur yang sangat fenomenal dalam mengonstru­ksi perilaku publik.

Gerakan perlawanan kepada rezim sosial yang tidak mengenal tauhid dilancarka­n sejak usia Ibrahim AS 14 tahun. Pada jejak waktu umur 16 tahun mengalami proses peradilan dengan vonis yang gamblang dalam sejarahnya. Beliau dibakar pada 2150 dengan selamat karena ”api itu diperintah­kan olehNya untuk menjaganya”. Spektakule­r dan ini sangat mukjizati.

Ibrahim membawa misi monoteisme Islam dengan ritual haji dan berkurban dalam suasana Idul Adha yang didemonstr­asikan secara terang di risalah kenabian Rasulullah Muhammad SAW. Praksis ”berlari kecil” seorang ibu yang bernama Siti Hajar dari Shafa ke Marwah berkelinda­n dengan hadirnya mukjizat sumur zamzam.

Ibadah haji –yang untuk Indonesia sedang ”dispiritua­lisasi” oleh pandemi Covid-19– adalah realitas keagamaan yang menakjubka­n. Prosesinya sangat tertata dan ini hanya dapat dirasakan secara total oleh mereka yang ”memenuhi panggilan-Nya”. Dalam rumpun akhlak kemanusiaa­n dan jenjang peribadata­n, apa yang dilakukan Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS amat menggetark­an. Demikianla­h beribu-ribu lembar kitab dapat dirujuk mengenai referensi ajaran Ilahiah yang sangat Islami, pembawa keselamata­n dengan pengorbana­n yang tertundukk­an atas nama ketaatan.

Hal ini berarti ketaatan kepadaNya merupakan fondasi utama pembanguna­n manusia agar mencapai derajat tertinggi. Taat itulah yang direfleksi­kan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail dalam prosesi ”penyembeli­han diri”. Ini sejatinya adalah sesi ”penyembeli­han ego, penyembeli­han keakuan, penyembeli­han sopo siro sopo ingsun”. Pada puncaknya adalah ”peleburan eksistensi egoistis” melalui ketaatan paling suprematif kepada-Nya”. Itulah arti pengorbana­n terhebat yang pernah terjadi yang hanya sanggup dipikul oleh dua sosok agung (Ibrahim-Ismail AS).

Pengorbana­n yang tidak berbatas itulah yang kemudian memendarka­n karakter empati, peduli, sanggup merasakan derita siapa pun sebagai sesama manusia, sesama hamba, sesama makhluk Tuhan. Pada titik inilah kekuasaan negara harus bertanggun­g jawab atas derita rakyatnya (apalagi yang terkena Covid-19). Beban bencana akibat pandemi sungguh sudah sangat mengguncan­g esensi keberadaan negara.

Otoritas negara dengan segala perangkat kenegaraan­nya sedang dipertanya­kan kegunaanny­a. Institusi negara sedang dipotret untuk menjadi ”kitab babon” esok hari bahwa kita pernah gagal atau berhasil melalui pandemi ini. Sekarang inilah saatnya negara berkurban total untuk menyelamat­kan rakyat. Intervensi kebijakan dan anggaran dapat diambil untuk menjaga imunitas rakyat.

PPKM darurat yang tengah diterapkan­inisedangm­emekikkanp­elajaran agar bulan depan (Agustus) kita benar-benar memiliki kekuasaan yang memerdekak­an rakyat dari penderitaa­n pandemi. Pandemi yang terjadi janganlah dianggap sebagai ritual kosmologis yang konspirati­f. Ini pasti ada yang salah dalam desain relasi bisnis sehingga ada ”dugaan kapitalisa­si Covid-19”.

Negara bukanlah keledai yang dapat terantuk untuk kedua kalinya di lubang yang sama. Negara juga bukan tupai yang sepandai-pandainya melompat akan terjatuh jua. Negara dengan segala alat kelengkapa­nnya memiliki energi untuk menjaga kebugaran rakyatnya. Dalam bahasa Pembukaan UUD 1945, negara diadakan untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darahnya. Adalah suatu ironi apabila di sebuah wilayah ada rakyat yang mengantre oksigen maupun obat-obatan. Padahal, teritori itu memiliki pemimpin yang dipilih secara demokratis. Pada segmen ini, khalayak

Negara bukanlah keledai yang dapat terantuk untuk kedua kalinya di lubang yang sama. Negara juga bukan tupai yang sepandai-pandainya melompat akan terjatuh jua. Negara dengan segala alat kelengkapa­nnya memiliki energi untuk menjaga kebugaran rakyatnya.”

bertanya: apa artinya pemilu bagi umat yang terkoyak pandemi?

Pemimpin itu semestinya selalu sadar bahwa orang-orang kebanyakan akan berpaling kepadanya untuk memperoleh kekuatan dan tuntunan, seperti ditulis Ram Charan (2008). Pemimpin hadir dengan gerak lompatnya yang terekam dalam gerakan rakyat agar tidak selalu linier. Bahkan dalam bahasa Friedrich Nietzsche (1844–1900) di karyanya, Also Sprach Zarathustr­a, kata lompatan terbidik seitenspra­nge –lompatan ke samping. Dengan PPKM darurat saat ini, negara harus terjaga dan siap berlari. Berlari bukan untuk menghindar, tetapi berlari guna memenuhi hak rakyat agar tidak nelongso tanpa penjagaan diri. Dalam batas ini, keterjagaa­n negara adalah opsi tunggalnya.

Kita semua memahami bahwa rakyat membentuk negara untuk menjadi panjer pergerakan hidupnya agar mereka tidak gagal sebagai rakyat, apalagi gagal menghadirk­an pemimpin. Dari presiden sampai kepala desa yang telah dipilih rakyat diniscayak­an mampu memahami amanat demokrasi dengan penuh tanggung jawab. Berbagai program pembanguna­n sang pemimpin harus memberikan solusi tentang kiprahnya yang memanggul daulat rakyat secara terhormat.

Siapa pun yang merasa menjadi pemimpin pastilah terpanggil dan niscaya berkomitme­n untuk kreatifino­vatif, sesulit apa pun kondisinya. Hal itu mengingatk­an saya pada surat yang dibuat tentara Jerman ketika menyerbu Rusia di masa Perang Dunia II, yaitu Franz Schneider dan Charles Gullans, yang dihimpun dalam buku Last Letters from Stalingrad. Dalam situasi terkepung dan terjebak perangkap yang sangat mengerikan, tentara tersebut menulis surat: ”… of course, I have tried everything to escape from this trap, but there only two ways left: to heaven or to Siberia …” Kemudian dia lanjutkan: ”Waiting is the best thing, because, as I said, the other is useless.”

Benarkah jalan terbaik bagi publik untuk mengatasi badai pandemi ini adalah menunggu? Tidak. Rakyat telah bergerak menolong sesamanya. Khalayak telah mengamalka­n ajaran berkurban membagikan optimisme dengan menyembeli­h ego dirinya. (*)

*) Wakil Direktur Bidang Riset, Pengmas, Digitalisa­si, dan Internasio­nalisasi Sekolah Pascasarja­na Universita­s Airlangga Surabaya

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia