Khazanah Linguistik Arab dan Label Religiusitas
MUHAMMAD ITSBATUN NAJIH
Judul: 978-623-293-411-5
BAHASA Arab memiliki dimensi kekhasan tersendiri. Ada sentimental yang melingkupinya. Tak sekadar digunakan sebagai media tutur, eksistensinya juga terdorong faktor agama.
Faktor agama inilah yang membedakannya dengan perkembangan bahasabahasa lain. Hal ini berbeda dengan bahasa internasional lainnya, yang sebab utama perkembangannya didominasi faktor kolonialisasi, misalnya.
Buku ini memasukkan perkembangan bahasa Arab dan kaitannya dengan Alquran. Azis Anwar Fachrudin selaku penulis membabar narasi sebagian para ahli linguis Arab bahwa Alquran menyerap bahasabahasa asing.
Bila pembaca setuju bahwa Alquran pada beberapa kata telah menyerap bahasa asing, pembaca juga kiranya mendapatkan semacam hikmah: betapa inklusifnya bahasa Alquran. Sehingga, diharap merembes pada inklusivitas beragama di laku keseharian dan sikap terhadap liyan.
Kehadiran buku ini terkata amat penting. Pertama, selama ini bahasa Arab lebih disodorkan sebagai barang siap pakai. Padahal, pengetahuan terhadap sejarah asal usulnya sangat menarik dan perlu diketahui pula. Karena itu, Azis Anwar tidak mengupas bahasan cara-cara menguasai bahasa Arab dan semacamnya. Wedaran sejarah bahasa Arab tak kalah penting untuk diungkit mengingat bahasa ini termasuk bahasa tertua yang masih eksis.
Kedua, boleh dikata nyaris belum ada buku berbahasa Indonesia yang mengupas linguistik Arab secara lengkap. Lengkap dalam arti dibahas dari muasalnya hingga era modern beserta renik-renik yang menyertai perkembangannya.
Nyaris semua buku yang membahas hal tersebut adalah berbahasa Arab dan selebihnya berbahasa Inggris. Meski demikian, sesuai dengan prakata penulis, buku ini dicukupkan sebagai pengantar. Karena itu, meski lengkap, tetapi tidak mendalam.
Ketiga, buku ini seakan menangkis kesan bahwa cakap berbahasa Arab tidak berkorelasi dengan urusan spiritualitas. Dengan kata lain, kecakapan berbahasa Arab di kalangan non-Arab tidak menjadikannya lebih religius.
Mafhum bahwa fenomena seperti ini telah banyak dijumpai. Pun, fenomena ini mengarah pada superioritas dan dikotomi yang juga dibalut sentimental keagamaan: anasir bahwa belajar bahasa Arab lebih afdal dan agamais ketimbang bahasa asing lainnya.
Sebagai bagian kebudayaan, bahasa Arab tidak bisa lepas dari kontribusi bahasa lain, semisal bahasa kuno Aramia. Bahasa Arab sendiri sering disebut sebagai bagian dari rumpun bahasa Semit yang mengacu pada peradaban tua: Aram, Phoenisia, Ibrani, Yaman Kuno, Babilonia, Asyiria, dan Arab. Dan, hanya bahasa Arab-lah yang masih eksis hingga kini, meski tentu sudah amat banyak pergeserannya dengan periode kuno tersebut.
Membaca lanskap bahasa Arab rupanya tidaklah integral. Dalam artian, ia amat luas dan bercabangcabang. Pengguna utamanya dari Afrika macam Mesir hingga Asia, Lebanon. Dan, meski dua negara tersebut berbahasa yang sama, Arab, nyatanya berlainan cara mengekspresikan. Ya, bahasa Arab menyimpan keanekaragaman tuturan.
Lantas, apa yang menyatukan? Tak berlebihan bila kalam Ilahi berupa Alquran-lah yang menjadi pemersatu. Alquran menjadi spirit upaya untuk menjadikannya media tuturan resmi nan sahih (fushha). Struktur dan tata bahasa dan kaidahkaidahnya dijadikan landasan bagaimana bahasa Arab diformulasikan.
Bahasan tersebut mendapat porsi besar di buku ini. Tak berlebihan kiranya berkat Alquran, bahasa Arab klasik masih terawat hingga kini.
Karena itu, menurut Azis Anwar, andaikata Alquran tidak ada, bahasa Arab klasik mungkin punah sebagaimana bahasa Semit lainnya. Dimafhumi, orang-orang Arab Jahiliyyah merupakan bangsa iliterat. Berkat Alquran, bahasa Arab menjadi terwarisi. Alquran bukan hanya berfungsi sebagai perekam, melainkan juga ”agen” budaya (halaman 37).
Meski kebanyakan orang Arab kala itu tidak bisa baca tulis, kehidupan bersusastra melalui puisi/syair amat semarak. Kedudukan seorang penyair begitu tinggi dalam kelas sosial. Inilah yang sebab pula, mengapa gaya bahasa Alquran oleh banyak linguis dianggap menyerupai syair/ puisi. Kehadiran Alquran dengan tuturan yang mengagumkan diduga membawa peralihan perhatian untuk lebih mengkaji Alquran ketimbang meneruskan kegiatan mendendangkan syair.
Azis Anwar membagi perkembangan bahasa Arab dalam empat periode: masa Jahiliyyah, awal Islam, era Umayyah, dan masa
Abbasiyyah. Pembaca bakal dipandu menelusuri jejak rangkaian panjang bahasa yang banyak dihiasi aspek budaya, konstruksi sosial, dan rivalitas politik.
Titik krusial perkembangan bahasa Arab adalah kala Islam menyebar ke pelbagai wilayah. Namun, justru ke wilayah Jazirah Arab yang menghasilkan dialek dan tuturan yang berbeda dengan dialek Hijaz –dialek yang dianggap sebagai dialek resmi Alquran.
Karena itu, dalam ilmu nahwu atau sintaksis, ”perpecahan” tak terelakkan. Rivalitas lantas bermunculan. Maka, dikenal mazhab Basrah dengan model qiyas/ preskriptif, mazhab Kufah dengan ciri istiqra’/ deskriptif, serta mazhabmazhab lainnya. Rupanya, tidak saja dalam bidang ilmu fikih atau teologis yang mengenal beragam mazhab, pun di babakan bahasa Arab, dikenal mazhab yang oleh Azis Anwar secara apik memaparkannya sebab akibat beserta sejumlah dampaknya.
Sayang sekali, Azis Anwar minim memberikan analisis mengenai tantangan yang dihadapi bahasa Arab dalam khazanah kebudayaan mutakhir. Apakah nasibnya sama dengan banyak bahasa lain yang menyerap begitu banyak kosakata bahasa Inggris. Atau, mampu berdikari sehingga memiliki independensi. Begitu pula khazanah kebahasaan Alquran yang kiranya masih perlu digali lebih mendalam.
Tak kalah pentingnya, buku padat informasi ini membawa semacam pesan bahwa tak perlu kearabaraban. Dan, sekaligus tak perlu sentimental-sinis terhadap kebudayaan Arab. (*)