Mendefinisikan Ulang Internasionalisme
Biennale Jogja XVI menandai berakhirnya rute ’’berkeliling dunia’’ lewat jalur khatulistiwa yang sudah terjadi sedekade. Pada tahun penyelenggaraan sebelumnya, mereka menyambangi India, Arab, Nigeria, hingga Brasil.
DIREKTUR Yayasan Biennale Jogja Alia Swastika menjelaskan, pada tahun ini pelaksanaannya bakal menggandeng negara kawasan Oseania. Di antaranya, Fiji, Tonga, dan Selandia Baru.
’’Lewat Biennale XVI, kami menguji dan mendefinisikan ulang, apa sih, internasionalisme itu? Sebab, dalam konteks seni, internasionalisme condong ke Eropa,” ungkap Alia Swastika dalam konferensi pers kemarin (1/10). Alia menjelaskan, ada anggapan bahwa kesenian Indonesia belum ’’internasional’’ bila belum sampai ke negara-negara di benua tersebut.
Dia mengakui, bekerja sama dengan negara-negara yang dianggap bukan pusat budaya dunia cukup menantang. Ada kesenjangan relasi kuasa dan ekonomi saat bekerja sama dengan negara belahan bumi selatan. ’’Kalau bicara event internasional, mudah untuk mencari funding dari negara maju Eropa. Kalau bekerja sama dengan negara yang sejajar atau di luar pusat budaya, susah mencari dananya,” lanjut Alia.
Kurator yang berbasis di Jogjakarta itu menjelaskan, selama sedekade berkolaborasi, dirinya melihat negara yang jadi mitra memiliki komunitas seni yang kurang memadai. Dukungan pemerintah pun amat kurang. ’’Jadilah, kerja sama sepanjang seri ekuator ini penuh gotong royong dan sambatan,” ungkap Alia. Meski demikian, dia menilai solidaritas dan jejaring yang terjalin tak ternilai.
Oseania pun dinilai pas jadi ’’bab terakhir” Biennale dalam perjalanan mendefinisikan ulang internasionalisme. Alia menjelaskan, secara konsep identitas, masyarakat Nusantara dekat dengan konsep negara kepulauan dan maritim. Misalnya, Fiji, Tonga, dan Samoa. ’’Kami belajar kembali spirit Nusantara, entah dari bentang alam, vegetasi, kebudayaan, dan spiritualitas,” lanjutnya. Poin itulah yang mendasari tema besar Roots < > Routes.
Meski demikian, mewujudkan ide Biennale XVI tak mudah. Mereka terkendala pandemi. Direktur Biennale XVI Gintani N.A. Swastika men_ceritakan, acara dilaksanakan sejak pertengahan 2020. Mereka menggandeng kurator Elia Nurvista dan Ayos Purwoaji pada akhir tahun lalu, lalu mulai bekerja awal tahun ini.
Gintani dan kedua kurator sepakat melakukan studi pustaka intens sebelum ’’terjun” dan memutuskan mitra. Mereka memulai dari yang terdekat: Indonesia Timur. Beberapa daerah yang dikunjungi meliputi Ambon, Jayapura, Kupang, dan beberapa pulau di Nusa Tenggara Timur.
Ayos, yang bertugas ke Papua dan Nusa Tenggara Timur, mengakui, Indonesia Timur memang memiliki banyak kesamaan dengan Oseania. ’’Kita juga punya problem dan krisis ekologi seperti pemanasan global dan pencemaran laut. Itu menjadi permasalahan sosial serius yang perlu kami beri ruang untuk didiskusikan,” ungkap Ayos.
Elia menambahkan, di Oseania kesenian berkedudukan sebagai alat pengikat sosial. ’’Di sana, temanteman dari kolektif seni banyak berbicara tentang ekologi, kerusakan lingkungan, hilangnya pengetahuan adat karena modernisasi. Semua itu dibicarakan dengan berbagai medium dan format, seperti tarian,” lanjutnya.
Tantangan masa pandemi serta beragamnya isu lokal di kota-kota mitra membuat Biennale memutuskan melakukan desentralisasi. Pameran utama tetap dilaksanakan di Jogja. Di empat titik lain –Jayapura, Ambon, Maumere, dan Kupang– mereka mengadakan docking program.
Biennale Jogja XVI Equator #6 2021 dilaksanakan mulai 6 Oktober hingga 14 November. Acara tersebut melibatkan 34 seniman, baik individu maupun kolektif. Acara itu juga didukung dengan 70 program aktivasi. Pameran dan program akan dilaksanakan di empat lokasi: Jogja National Museum, Taman Budaya Jogjakarta, Museum dan Tanah Liat (MDTL), dan Indie Art House.