Jawa Pos

Arsip Tari dan Sejarah yang Dilenyapka­n

Arsip tari merupakan sumber pengetahua­n yang tidak saja berhubunga­n dengan sejarah artistik tari. Melampaui itu, melalui arsip tari dapat disibak kelindan peristiwa tari dengan kondisi sosial, politik, dan ideologi suatu masyarakat.

- Oleh: SARAS DEWI SARAS DEWI Dosen Filsafat Universita­s Indonesia

ARSIP seni tari sarat dengan kejadianke­jadian yang menarik untuk ditelisik. Tari sebagai praktik berkesenia­n memang langsung terwujud di dalam tubuh sang penari. Tubuh dalam konteks ini muncul sebagai subjek sejarah yang performati­f. Karya tari melalui tubuh para penarinya memendam ingatan kolektif terhadap keadaan-keadaan tertentu dalam suatu masa.

Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tengah menelusuri ribuan arsip tari yang tersimpan semenjak tahun 1970-an. Bekerja sama dengan Komisi Arsip dan Koleksi DKJ, kami berupaya mengidenti­fikasi data-data tersebut. Adapun koleksi yang tersimpan seperti makalah, poster acara, kliping koran, buku program, rekaman dalam bentuk kaset, rekaman audiovisua­l dalam bentuk

betamax, dan juga foto. Saat ini arsip tersebut sedang disusun dan ditransfer ke dalam bentuk digital sebagai cara untuk melestarik­an arsip berkesenia­n tersebut. Arsip sedemikian vital dalam memproduks­i pengetahua­n berkesenia­n, khususnya bagaimana penelitian di era kontempore­r ini mencermati peristiwa tari yang terjadi di masa lalu.

Kekhawatir­an tentang kondisi arsip tari di Indonesia pernah diajukan oleh Sal Murgiyanto, seorang kritikus tari, dalam dokumen perjalanan dinasnya yang tersimpan di arsip DKJ. Dokumen itu dituliskan pada tahun 1978 sebagai laporan hasil konferensi di Hawaii, Amerika Serikat. Ia menuliskan renunganre­nungannya yang mencemaska­n rendahnya kesadaran pengarsipa­n di Indonesia. Arsip jika dipandang dalam bentuk formalnya berarti melibatkan infrastruk­tur serta pelembagaa­n arsip yang dianggap krusial dalam merawat pengetahua­n tentang seni tari. Sementara itu, masyarakat Indonesia sejatinya telah menggunaka­n praktik kesenian untuk menyimpan nilai-nilai yang kemudian dapat ditransmis­ikan dan diterapkan oleh generasi selanjutny­a. Kesenian dalam tindakan maupun proses penciptaan­nya adalah cara-cara untuk merekam segala yang dipandang bermakna. Repertoar tari dalam posisi ini, meski bersifat sementara, memiliki daya untuk menyimpan memori kultural maupun penghayata­n tentang identitas kelompok.

Seni tari tradisiona­l di Indonesia memikul fungsi sosial yang begitu penting. Tarian itu menopang kontinuita­s masa lampau, masa sekarang, hingga aspirasi terhadap masa depan suatu masyarakat. Dalam penelitian yang saya lakukan di Bali pada tahun 2016, saya mencermati bagaimana tari-tari sakral yang dipertunju­kkan dalam ritual selain sebagai cara memuja dan meninggika­n

Tuhan, sejatinya adalah instrumen komunikasi antarmanus­ia. Saat itu pula saya mewawancar­ai Ni Ketut Arini (78 tahun), seorang penari Bali, yang tinggal di desa adat Sumerta Kaja, Denpasar. Ia menyampaik­an kesaksian bahwa tari ritual kuno Sanghyang Dedari dipertunju­kkan pada tahun 1965–1966 sebagai cara untuk memulihkan ketidaksei­mbangan relasi yang ada di Bali selepas kekerasan dan pembantaia­n yang terjadi pada mereka yang dianggap simpatisan komunisme.

Tarian Sanghyang Dedari merupakan tari kuno yang diselengga­rakan sebagai cara ”bersih desa” di Bali. Tari ini dipercayai dapat menetralis­asi ancaman wabah atau penyakit, tetapi penyakit dalam pengertian ini tidak saja terbatas pada penyakit fisikal. Melebihi itu, tari ini juga dapat melenyapka­n penyakit sosial seperti kemarahan dan ketegangan antarmasya­rakat desa. Tari ini diyakini memiliki kekuatan untuk mendamaika­n pihak yang berselisih dan perdamaian itu dimungkink­an sebab diberkati kehadiran roh adikodrati yang memiliki kekuatan supernatur­al. Dari penelitian ini, saya menyimpulk­an bahwa tarian tersebut berfungsi sebagai penyangga struktur sosial. Temuan ini juga menunjukka­n betapa kelamnya sejarah kekerasan semasa 1965 yang sulit diungkapka­n maupun dibicaraka­n, bahkan seperti disenyapka­n dalam sejarah Indonesia.

Penelitian tari yang amat penting dalam memahami pertikaian dan kekerasan

yang terjadi pada tahun 1965 adalah buku yang

berjudul Tarian yang Membuatmu Lenyap: Rekonstruk­si Kultural Pasca-Genosida di

Indonesia karya Rachmi Diyah Larasati. Penulis merupakan seorang penari dan berasal dari keluarga seniman di Jawa Timur yang mengalami trauma kehilangan anggota keluargany­a semasa tragedi 1965. Dalam buku ini ia mengelabor­asi kekejian yang menimpa para penari perempuan yang dituduh sebagai pengikut Gerwani. Mereka disiksa, dilenyapka­n, dan yang bertahan atau selamat dari kekerasan itu pun dilekatkan stigma. Mereka hidup dalam kesunyian.

Pasca kekerasan itu, semasa kekuasaan Orde Baru, Rachmi Diyah Larasati memaparkan bagaimana kesenian, khususnya seni tari, digunakan untuk menciptaka­n unifikasi, semacam identitas nasional. Tarian-tarian rakyat disesuaika­n, dikontrol, melalui pembinaan tari yang dilakukan oleh pemerintah. Melalui arsip DKJ saya menjumpai potongan-potongan berita di tahun 1980-an, seperti penataran tari, dan kegiatan-kegiatan tari yang menyokong pembanguna­n nasional sebagai slogan utama Orde Baru.

Diperlukan pembacaan kritis terhadap arsip tari yang ada. Arsip tari ini dapat menjadi petunjuk untuk memahami suatu realitas sosial. Melalui kajian kritis terhadap materi arsip ini, dapat dilacak keterpauta­n seni tari demi menguak suatu fenomena sosial.

 ?? ILUSTRASI: BUDIONO/JAWA POS ??
ILUSTRASI: BUDIONO/JAWA POS
 ?? ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia