Bunga-Denda Lebih Tinggi daripada Kartu Kredit
Platform perdagangan daring menawarkan opsi kemudahan membayar. Salah satu yang menjadi primadona adalah metode paylater. Opsi ’’membayar nanti” itu kian digemari. Bukan hanya konsumen, perbankan dan lembaga jasa keuangan pun berlomba-lomba meraup cuan di
KEBERADAAN paylater yang mengusung konsep ’’beli sekarang, bayar nanti’’ sebenarnya bukan hal baru. Jauh sebelum itu, ada kartu kredit dengan opsi serupa. Bedanya, paylater menawarkan kredit limit yang lebih kecil daripada kartu kredit. Di beberapa platform, limit yang ditawarkan mulai Rp 500 ribu hingga Rp 5 juta.
Selain itu, sistem approval terbilang lebih simpel. Hanya dalam hitungan jam atau hari, konsumen sudah bisa menjadi pengguna paylater. Bahkan, ada pula platform yang memang sengaja ’’jemput bola’’ dengan menawarkan kepada konsumen yang sesuai dengan profil risiko masing-masing.
Perencana keuangan Safir Senduk menyebutkan, keberadaan paylater bisa diibaratkan dengan sale atau diskon. ’’Itu sangat membantu untuk mereka yang membutuhkan barangnya. Tapi, mereka yang tidak membutuhkan barangnya sering kali melihatnya sebagai alasan untuk membeli dengan dalih ’butuh barangnya, tapi bayarnya nanti’,’’ ujarnya kepada Jawa Pos Kamis (30/9).
Apakah keberadaannya membantu? Safir menyatakan, sistem itu membantu orang yang membutuhkan barang, tetapi belum ada dana. Yang salah adalah apabila pengguna menggunakan opsi paylater hanya untuk lapar mata. ’’Sayang, kondisi itu sering terjadi,’’ tuturnya.
Dia menjelaskan, pengguna harus betul-betul memperhatikan berapa nominal yang harus dibayarkan. Sebab, pemakaian paylater menetapkan bunga dengan nilai tertentu.
Safir melanjutkan, pihak pemberi layanan telah memberikan limit yang telah disesuaikan dengan credit report si konsumen. ’’Nggak perlu merubah limit kreditnya. Kalau sudah dikasih angka plafon tertentu, tidak perlu dinaikkan juga,’’ imbuh pria yang juga menulis buku best seller Siapa Bilang Jadi Karyawan Nggak Bisa Kaya? itu.
Dalam penggunaannya, paylater bisa dimasukkan sebagai komponen cicilan utang atau biaya hidup. Contohnya, si A memakainya untuk membeli barang seharga Rp 100 ribu. Bulan lalu, dia juga melakukan hal yang sama dan tepat waktu membayarnya. Itu masuk ke biaya hidup. ’’Sebaliknya, apabila si A membayarnya tidak konsisten, itu bisa dikategorikan sebagai cicilan utang,’’ tuturnya.
Safir berpesan, pembayaran secara kredit itu sangat bermanfaat bagi orang yang sedang butuh barang dan jasanya, tapi belum ada uangnya. Namun, sangat berbahaya bagi mereka yang tidak butuh barangnya karena sering kali mengambil barang itu hanya karena ada fasilitas ’’bayar nanti’’.
Banyaknya peminat paylater ternyata dilirik perbankan maupun lembaga jasa keuangan. Beberapa bank seperti BNI dan BRI telah bekerja sama dengan Traveloka PayLater. Ada pula CIMB Niaga maupun Bank Mandiri yang tengah mengembangkan sendiri layanan tersebut.
Direktur dan Founder Center of Economic and
Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menjelaskan, cuan di bisnis itu memang amat menjanjikan. Apalagi, ada fenomena pergeseran masyarakat dari yang sebelumnya menggunakan kartu kredit menjadi ke paylater. ’’Karena lebih pratis dan langsung tersambung ke platform penjual barang,’’ jelasnya.
Hal itu tak dibiarkan begitu saja oleh perbankan. Apalagi, penggunaan paylater mematok bunga atau biaya denda yang tinggi. Margin itu yang cukup menjanjikan dilirik perbankan. ’’Jadi, harus menjadi responsible borrower atau peminjam yang rasional dan bertanggung jawab, membeli barang sesuai kebutuhan dan menunjang produktivitas,’’ katanya.