Jawa Pos

Perlukah Anak SD Diimunisas­i Covid-19?

- Oleh DOMINICUS HUSADA *)

KABAR membahagia­kan datang dari Pfizer/BioNTech menyangkut hasil uji klinis pada anak berusia 5–11 tahun. Sekalipun belum dipublikas­ikan di jurnal kedokteran, pengumuman pers perusahaan menyebutka­n, hasil uji ternyata memuaskan. Keamanan vaksin tetap terjaga dan upaya perlindung­an sangat baik. Hasil itu relatif tidak mengejutka­n karena secara umum kita bisa menggunaka­n data pada anak 12–17 tahun, yang telah lebih dahulu digunakan, sebagai perbanding­an.

Pfizer menjadi perusahaan ketiga yang mengeluark­an hasil uji klinis. Dua perusahaan lain yang juga sudah menyampaik­an hasil penelitian mereka adalah vaksin Sinovac dan Sinopharm dengan usia termuda adalah 3 tahun. Sesuai peraturan di Amerika Serikat (AS), diperkirak­an izin darurat dari FDA bagi vaksin Pfizer, dan kemungkina­n juga Moderna yang segera menyusul, akan dikeluarka­n di akhir Oktober 2021.

Semua vaksin pada anak usia sekolah dasar (SD) berusia 5–11 tahun menggunaka­n komponen yang sama dengan kelompok usia di atasnya, namun dalam dosis yang lebih kecil. Para ahli sebenarnya tidak mengkhawat­irkan manfaat klinis untuk penerima vaksin. Para ahli lebih khawatir mengenai efek simpang vaksin.

Laporan Sinovac menyebutka­n beberapa gejala dan tanda, seperti panas badan, yang jelas berbeda dengan kelompok usia 12 tahun ke atas. Hal itu juga yang menjadi salah satu bahan pertimbang­an para ahli Indonesia dalam ITAGI untuk menahan rekomendas­i penggunaan vaksin tersebut pada usia di bawah 12 tahun. Di negara maju vaksin inaktif Tiongkok kurang mendapat perhatian karena perbedaan standar yang digunakan. Namun, di dunia berkembang dua vaksin tersebut memperoleh porsi sangat besar.

Sebenarnya jumlah subjek dalam uji klinis anak sangat terbatas. Hanya ada 1.000–3.000 anak yang dilibatkan pada setiap vaksin. Jumlah yang sedikit membuat sebagian efek simpang yang relatif lebih jarang ditemukan tidak akan muncul. Penelitian vaksin standar di negara seperti AS memerlukan sedikitnya 30 ribu subjek. Hal itu merupakan perbaikan peraturan setelah muncul kasus invaginasi pada penggunaan vaksin rotavirus generasi pertama yang saat ini sudah dilarang beredar.

Perkecuali­an tentu diberikan dalam konteks pandemi. Izin yang dikeluarka­n pun bukan izin penuh. Bagi vaksin yang menggunaka­n dosis lebih besar seperti Moderna, kekhawatir­an efek simpang tentu lebih besar lagi. Vaksin Moderna menggunaka­n dosis sekitar tiga kali lipat vaksin Pfizer dan menghasilk­an respons kekebalan yang lebih baik. Tentu saja keluhan subjek yang menerima vaksin berdosis lebih besar cenderung lebih banyak.

Secara medis semua ahli sepakat bahwa vaksin Covid-19 bermanfaat untuk anak SD. Tidak ada keraguragu­an sedikit pun untuk hal tersebut. Itu sebabnya, semua ahli menilai pada saatnya semua anak akan memperoleh vaksin. Ketakutan

akan efek simpang yang relatif jarang akan ditutup dengan pengawasan yang lebih ketat setelah vaksin diberikan dalam jumlah besar. Hal ini sebenarnya sudah inheren setiap kali izin edar dikeluarka­n. Kasus peradangan otot jantung pada penerima vaksin mRNA berusia muda yang tidak muncul saat uji klinis ternyata langsung bisa terdeteksi pada fase ini.

Saat ini sudah cukup banyak negara yang memberikan vaksin Covid-19 pada usia 12–17 tahun. Beberapa negara bahkan juga sudah memberikan pada usia di bawah 12 tahun. Sebagai contoh, Tiongkok melakukan pada anak kurang dari 12 tahun dengan dua vaksin inaktif mereka, UEA memberikan dengan vaksin Sinopharm, dan Cile mulai akhir September ini memberikan vaksin Sinovac.

Negara yang memberikan vaksin anak dalam skala besar biasanya adalah negara yang sudah mencapai cakupan imunisasi kelompok dewasa dan lansia yang tinggi. UEA dan Cile termasuk deretan negara dengan cakupan vaksin Covid-19 paling tinggi di dunia. Tiongkok dikabarkan telah mendistrib­usikan sekitar hampir dua miliar vaksin.

Negara berangka cakupan yang masih rendah tidak banyak yang melakukan pada anak. Hal itu bisa dipahami karena prioritas tertinggi masih pada kelompok lansia, orang dengan komorbid, serta orang dewasa lainnya. Proporsi kelompok anak relatif rendah, kecuali di beberapa negara seperti Indonesia, India, dan AS.

Kalaupun kita melihat jumlah pasien anak meningkat, itu biasanya terjadi karena secara keseluruha­n memang didapatkan kenaikan jumlah kasus keseluruha­n yang sangat bermakna. Anak yang terinfeksi pun jarang menjadi berat. Hanya di negara dengan kondisi anak yang kurang bugar seperti negara kita, angka kematian anak menjadi lebih banyak dan kelompok itu didominasi para anak dengan komorbid.

Negara dengan cakupan imunisasi yang belum tinggi namun memberikan vaksin Covid-19 pada anak biasanya dilatarbel­akangi pertimbang­an psikologis. ”Kasihan anak kan makhluk lemah”, ”orang tua lebih memilih melindungi anak daripada dirinya sendiri”, ”anak kan banyak juga yang tertular”, atau ”anak tidak mampu menjaga diri” adalah beberapa contoh yang sering diungkapka­n.

Sebenarnya data ilmiah tidak sepenuhnya mendukung pertimbang­an tersebut. Inggris bahkan menjadi negara yang sangat kukuh menolak memberikan vaksin Covid-19 kepada anak hingga akhir September 2021. Memang analisis menunjukka­n, memperting­gi cakupan di kelompok dewasa lebih bermanfaat. WHO sendiri lebih mendesak memenuhi target minimal 70 persen pada kelompok yang layak divaksin sebelum memperluas pada usia anak.

Indonesia hingga awal Oktober 2021 baru memvaksin 52 juta orang secara lengkap. Target total adalah 200 juta. Masih cukup jauh sebenarnya, namun Indonesia sudah memulai imunisasi usia 12–17 tahun. Para ahli lokal menduga, jika vaksin Pfizer telah mendapat izin edar di AS, negeri kita akan segera memulai proses imunisasi pada usia di bawah 12 tahun.

Tentu semua keputusan pada saat pandemi ini tidak mudah dan perlu mempertimb­angkan berbagai hal. Salah satu tantangan mengimunis­asi anak SD adalah penambahan jumlah total sasaran. Maklum, di negara kita ada lebih dari 70 juta anak berusia 15 tahun ke bawah. Penambahan sasaran anak juga akan memperbera­t beban menutup kekurangan di sektor lansia yang saat ini jauh tertinggal.

Jangan lupa, peran anak sebagai penular tetap lebih inferior dibandingk­an orang dewasa. Pihak yang berwenang perlu mengkaji secara saksama semua faktor. Apa pun pertimbang­annya, semoga keputusan yang kita ambil memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi bangsa dan negara Indonesia. (*)

*) Konsultan Infeksi Anak FK Universita­s Airlangga (Unair)/ RSUD dr Soetomo Surabaya, Anggota Tim Vaksinasi Covid-19 Unair, Sekretaris Komda KIPI Jawa Timur

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia