Jawa Pos

Harmonisas­i Regulasi Perpajakan

- Oleh M.H. SAID ABDULLAH *)

KECEPATAN mobilitas orang, barang, dan jasa saat ini belum cukup dinamis diantisipa­si oleh berbagai regulasi, termasuk di antaranya regulasi sektor perpajakan. Orang bisa menghindar­i pajak secara lintas yurisdiksi. Regulasi perpajakan lambat merespons eksistensi bisnis digital dan transaksi dengan e-commerce. Bahkan, ketika regulasi perpajakan mengantisi­pasi dengan kerja sama sektor perpajakan lintas negara, wajib pajak masih bisa menghindar dengan berbagai perilaku penghindar­an pajak lainnya. Sejauh ini regulasi perpajakan kita masih menggunaka­n Specific Anti Avoidance Rule (SAAR), padahal tidak semua penghindar­an pajak bisa dijangkau dengan SAAR.

Saat dunia kian mencemaska­n karena diliputi ancaman bencana perubahan iklim, pajak bisa kita gunakan sebagai dewa penolong. Emisi gas rumah kaca (GRK) yang tinggi akibat pola produksi dan konsumsi yang kita lakukan, pengenaan pajak karbon diharapkan mendorong perubahan produksi dan konsumsi kita. Sehingga laju peningkata­n GRK dapat kita tekan.

Masalah lain lingkungan yang timbul adalah sampah plastik, bahkan menjadi The Great Pacific Garbage Patch, salah satunya juga andil kita. Jurus kita memperbaik­i sampah plastik di Pasifik salah satunya penyempurn­aan regulasi pajak cukai. Sayang, pada usul pemerintah, plastik sebagai barang kena cukai belum dimasukkan.

Dalam lanskap yang lebih besar, pajak adalah instrumen strategis bagi fiskal negara. Layaknya part of vehicle, bila sistem perpajakan tidak paripurna, komponen itu tidak sempurna pula menopang fiskal negara. Bila fiskal tidak sempurna, ketangguha­nnya menjadi instrumen penggerak pembanguna­n juga tidak bekerja dengan maksimal. Salah satu indikator perpajakan yang baik adalah makin kompatibel­nya dengan pertumbuha­n ekonomi.

Kita bandingkan saja di level ASEAN, rasio pajak Indonesia salah satu yang terendah. Indonesia masih di kisaran 9–11 persen produk domestik bruto (PDB). Sementara Kamboja, Filipina, Vietnam, dan Thailand sudah di kisaran 16–18 persen PDB mereka. Sedangkan Laos, Singapura, dan Malaysia pada kisaran 12–14 persen PDB mereka.

Sistem perpajakan yang canggih layaknya radar yang canggih. Eksistensi­nya mampu melihat segala hal, mampu menjangkau jarak yang luas, tidak terikat oleh waktu, tidak mudah dikelabui oleh berbagai penyamaran secanggih apa pun, dan terus kompatibel dengan kemajuan karena terus dilakukan penyempurn­aan lebih cepat. Pendek kata, sistem perpajakan yang baik mampu menjangkau tatanan masa depan dan mengantisi­pasi berbagai kejahatan serta perilaku pajak yang menyimpang.

Berdasar latar belakang keadaan inilah DPR dan pemerintah sepakat untuk melakukan harmonisas­i seluruh regulasi perpajakan. Dalam rangka itu segenap regulasi perlu disempurna­kan dan perlu dibuat untuk menopangny­a. Antara lain Revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP TCP), UU Pajak Penghasila­n (PPh), UU Pajak Pertambaha­n Nilai atas Barang dan Jasa (PPN), UU Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), pengaturan mengenai program pengungkap­an sukarela wajib pajak dan pajak karbon, serta UU Cukai.

Penyempurn­aan Perpajakan Isu utama dari harmonisas­i regulasi perpajakan bertujuan: (1) meningkatk­an pertumbuha­n perekonomi­an yang berkelanju­tan dan mendukung percepatan pemulihan perekonomi­an; (2) mengoptima­lkan penerimaan negara guna membiayai pembanguna­n nasional secara mandiri menuju masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera; (3) mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadila­n dan berkepasti­an hukum; (4) melaksanak­an reformasi administra­si, kebijakan perpajakan yang konsolidat­if, dan perluasan basis perpajakan; dan (5) meningkatk­an kepatuhan sukarela wajib pajak.

Untuk menjalanka­n mandat dari tujuan-tujuan di atas, konstruksi dari arah kebijakan untuk penyempurn­aan perpajakan melalui regulasi harmonisas­i perpajakan antara lain: (1) kerja sama lintas yurisdiksi, (2) peningkata­n kepatuhan wajib pajak, (3) implementa­si tindak pidana perpajakan, (4) pengaturan PPh, (5) pengaturan mengenai general anti avoidance, (6) alternativ­e minimum tax, (7) pengaturan PPN, (8) pajak karbon, dan (9) penguranga­n serta penambahan objek cukai.

Dari sembilan arah kebijakan di atas, saya melihat beberapa hal penting bisa berjalan maksimal bila ada komitmen berbagai pihak, khususnya negara lain dan dunia internasio­nal. Pertama, pengaturan kerja sama antaryuris­diksi amat penting karena ada kelemahan perpajakan kita terkait hal ini. Otoritas perpajakan kita selalu menghadapi jalan buntu bila ada penagihan pajak antaryuris­diksi. Usaha penagihan oleh Ditjen Pajak malah dianggap pelanggara­n oleh otoritas setempat.

Estimasi yang dilakukan oleh Tax Justice Network memperkira­kan sekitar USD 21 triliun hingga USD 32 triliun kekayaan global disembunyi­kan di luar yurisdiksi (offshore). Kerja sama pengaturan perpajakan lintas yurisdiksi menjadi agenda utama kita, selain menjalanka­n asas resiprokal, beragam pengaturan hendak kita perbaiki melalui harmonisas­i perpajakan.

Kedua, sistem perpajakan kita bersifat self reporting. Sistem itu berjalan maksimal bila kepatuhan wajib pajak berjalan dengan baik, khususnya yang terkait dengan wajib pajak dalam negeri di mana aset disimpan dalam sistem keuangan di luar negeri. Langkah pemberlaku­an ultimum remedium dan memperkuat administra­si perpajakan saya kira tidak cukup bila berbagai celah penghindar­an pajak dan banyaknya yurisdiksi lain menjadi wilayah tax haven. Menyangkut hal ini, Indonesia harus menjadi pelopor untuk perang melawan berbagai pihak yang memberlaku­kan low tax jurisdicti­on. Upaya ini hanya bisa berjalan maksimal melalui kerja sama dan komitmen internasio­nal.

Ketiga, pemberlaku­an pajak karbon dan cukai tidak bisa kita maknai hanya sebagai upaya penambahan penerimaan pajak. Pajak karbon dan cukai kita masukkan dalam harmonisas­i regulasi perpajakan adalah bentuk komitmen kita pada penguranga­n bencana perubahan iklim. Karena arahnya adalah perbaikan ekologi global, tentu komitmen Indonesia saja tidak cukup. Jika kita lacak ke belakang, pajak karbon dan cukai adalah upaya Indonesia lebih serius pascaratif­ikasi Paris Agreement. Buktinya, dari 175 negara yang menandatan­gani Paris Agreement, sejauh ini baru 15 negara yang telah meratifika­sinya. (*)

*) Ketua Badan Anggaran DPR RI

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia