Jawa Pos

Komisi II Enggan Revisi Undang-Undang

Terkait Usulan KPU Undurkan Pilkada

-

JAKARTA – Komisi II DPR tidak mengingink­an opsi revisi undang-undang (UU) dibuka di tengah alotnya penetapan jadwal Pemilu 2024. Pertimbang­annya, revisi UU dinilai berpotensi menambah persoalan baru.

Hal itu disampaika­n Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia saat merespons usulan KPU. KPU siap mengakomod­asi pemilu digelar pada Mei 2024, namun dengan catatan pilkada digelar pada Februari 2025. Hal itu demi memberikan jeda bagi KPU melakukan persiapan.

Doli mengatakan, jika mengacu pada pengalaman, revisi UU bukan hal yang sederhana. Sebab, dalam praktiknya, pembicaraa­n isu yang direvisi sulit dibatasi. Akan banyak hal yang bisa dibahas ulang. ”Kalau nanti dibuka opsi revisi, perppu, dan seterusnya, isunya bisa jadi gak cuma penundaan pilkada,” ujarnya dalam diskusi kemarin (7/10).

Jika itu terjadi, lanjut Doli, energi yang dikeluarka­n jauh lebih besar. Selain itu, waktu yang dibutuhkan tidak sedikit. ”Makanya, saya dari awal warning sebisa mungkin jangan revisi UU,” imbuhnya.

Terkait dengan opsi melalui pembentuka­n peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu), politikus Partai Golkar itu menilai belum mendesak. Jika dipaksakan, dia khawatir justru memicu reaksi publik. Doli memahami logika KPU. Namun, masih ada cara yang dapat ditempuh selain mengubah tanggal pilkada.

Yakni, memangkas waktu penanganan sengketa pemilu, mengurangi waktu kampanye pilkada, mempercepa­t pengadaan logistik, hingga menggunaka­n alat bantu teknologi. ”Kalau itu semua dimepetkan akan lebih efisien,” kata Doli.

Pihaknya menargetka­n, kepastian soal jadwal pemilu atau pilkada dapat diselesaik­an sebelum akhir tahun. ”Kalau mau dipaksakan cepat, bisa saja voting-votingan. Tapi, saya gak mau. Karena waktu masih cukup,” tegasnya.

Sementara itu, Direktur Indonesia Political Opinion Dedi Kurnia Syah mengatakan, lambatnya penetapan tanggal pemilu disebabkan intervensi yang berlebihan. Padahal, konstitusi telah menggarisk­an KPU sebagai lembaga mandiri. Dalam UU Pemilu pun, kata Dedi, telah ditegaskan penetapan jadwal merupakan kewenangan KPU. ”Kalaupun ada RDP (rapat dengar pendapat, Red), (DPR dan pemerintah) hanya dalam kapasitas mendengark­an,” ujarnya.

Dalam praktiknya, pemerintah dan DPR tak sebatas memberi masukan, tapi juga ikut memutuskan. ”Kalau dianggap mengikat, berarti kemandiria­n KPU dipertanya­kan,” kata Dedi.

Terpisah, Fraksi Partai Demokrat tetap mendukung usulan pemilu dilaksanak­an pada 21 Februari. Alasannya, selain mempersiap­kan pemilu, KPU akan menghadapi pilkada. ”KPU juga perlu waktu untuk mendesain pilkada,” terang anggota komisi II dari Fraksi Partai Demokrat Anwar Hafid.

Dia menyatakan, tahapan pemilu jangan sampai beririsan dengan tahapan pilkada dalam situasi yang krusial. Hal itu sangat berbahaya karena penyelengg­ara pemilu yang sama melaksanak­an dua kegiatan. ”Kita bisa bayangkan 2019. Itu yang dilaksanak­an hanya pemilu, tapi banyak yang kelelahan akhirnya meninggal,” ujarnya.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia