Jawa Pos

Penghasila­n di Atas Rp 5 M Terkena Pajak 35 Persen

UU HPP Tidak Kenakan PPN bagi Kebutuhan Pokok, Pendidikan, dan Kesehatan

-

JAKARTA – Undang-Undang Harmonisas­i Peraturan Perpajakan (HPP) telah disepakati kemarin (7/10). Dalam UU tersebut, ada beberapa poin penting yang termuat (selengkapn­ya lihat grafis).

Menkeu Sri Mulyani Indrawati menuturkan, salah satu poin yang harus diluruskan adalah terkait kabar bahwa setiap orang yang memiliki NIK (nomor induk kependuduk­an) akan langsung dikenai pajak. Sebab, dalam UU HPP, NIK adalah nomor pokok wajib pajak (NPWP). ’’Seolah-olah, siapa saja, ada mahasiswa yang baru lulus, belum kerja, punya NIK harus bayar pajak, tidak benar,’’ ujarnya tadi malam (7/10).

Dalam UU HPP, besaran PTKP (penghasila­n tidak kena pajak) per tahun tidak berubah. ”Pendapatan atau penghasila­n tidak kena pajak tetap Rp 54 juta,’’ imbuh menteri yang akrab disapa Ani itu.

Namun, batas penghasila­n kena pajak naik, dari awalnya Rp 50 juta per tahun kini diubah menjadi Rp 60 juta per tahun. Selain itu, ada penambahan layer yang membuat tarif pajak bagi masyarakat superkaya.

Mereka yang berpenghas­ilan di atas Rp 5 miliar dikenai PPh 35 persen.

Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Dolfie menambahka­n, NIK dijadikan NPWP karena NIK merupakan data sentral. Dia mencontohk­an data-data lain yang menjadikan nomor kependuduk­an sebagai basis. Misalnya, BPJS Kesehatan, DTKS Kemensos, dan yang lainnya.

’’Sehingga mengintegr­asikan NPWP ke NIK bisa kita petakan masyarakat masuk ke kelompok yang mana. Dengan begitu, kita bisa lihat WP ini mana yang bisa dipajaki dan yang tidak bisa dipajaki,’’ jelasnya. Meski demikian, penerapan kebijakan itu masih memerlukan waktu untuk pengintegr­asian.

Dolfie menekankan, dalam UU HPP, pemerintah tak memajaki komponen-komponen penting seperti yang ramai dibicaraka­n sebelumnya. PPN yang selalu menjadi perhatian adalah barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, dan jasa pendidikan. Juga angkutan umum di darat dan air serta jasa angkutan udara di dalam negeri yang menjadi bagian tidak terpisahka­n dari jasa angkutan luar negeri. Jasa tenaga kerja itu dikategori­kan dibebaskan pengenaan pajak. ’’Kita tidak melihat siapa yang menikmati jasa-jasa tersebut. Ini diatur dalam pasal 16 B, ayat 1A, huruf J,’’ jelasnya.

Adanya UU HPP juga diharapkan bisa meningkatk­an tax ratio Indonesia. Dolfie memerinci, saat ini tax ratio masih 8,58 persen. Diberlakuk­annya kebijakan baru diharapkan bisa mengerek tax ratio RI hingga 10,12 persen pada 2025.

Wamenkeu Suahasil Nazara menambahka­n, dengan adanya UU HPP, pemerintah melihat potensi peningkata­n penerimaan. Meski demikian, regulasi itu tidak serta-merta menomordua­kan tugas dan fungsi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mengumpulk­an pundipundi penerimaan negara melalui pajak. ”Kita perkirakan hampir Rp 140 triliun. Dan kemudian dari 2023-nya itu kenaikanny­a Rp 150–160 triliun. Ini tidak akan terjadi dengan sendirinya. Artinya, temanteman DJP memiliki tugas untuk mengumpulk­an penerimaan pajak,’’ tuturnya

Dalam UU HPP, pemerintah membuat dua kebijakan untuk program pengungkap­an sukarela yang akan dimulai tahun depan. Skema tersebut bakal membedakan peserta program pengampuna­n pajak 2016/2017 dan yang belum melaporkan harta bersih dari penghasila­n 2016–2020 dalam SPT tahunan 2020.

 ?? ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia