Jawa Pos

Ekstremita­s, Polarisasi, dan Imajinasi Politik

-

DALAM beberapa tahun terakhir, bertumbuh tren analisis dari para sarjana politik yang mencoba membaca kecamuk situasi politik Indonesia. Aspinall dan Mietzner (2019), misalnya, membaca polarisasi politik yang menajam dan semakin mengerucut pada pertarunga­n atas ”kelompok pluralis” versus ”kelompok Islamis”, di mana keduanya dipisahkan oleh garis dalil pro-republik atau pro-agama. Kesimpulan serupa, dengan sedikit variasi temuan, juga terpantul dari tulisan para analis sosial dan politik Indonesia mutakhir (Fossati 2019; Salahudin et al 2020; Ahlstrand 2021). Semuanya bersepakat bahwa kecenderun­gan mengkhawat­irkan ini telah membimbing situasi politik pada kemunduran demokrasi.

Pada saat yang sama, amatan para analis ini semakin mudah ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak diperlukan observasi berbelit untuk mengetahui betapa terbelahny­a psikologi politik hari ini: ada semacam imajinasi bahwa kelompok seberang adalah ancaman eksistensi­al. Pendapat atas satu hal dapat dengan buta dibantah semata-mata karena ia datang dari ”kubu” yang berbeda. Debat dengan mudah menjalar di media sosial, di kolom-kolom komentar tautan publik, hingga grup pesan instan berskala RT, RW, atau alumni sekolah dasar.

Ketegangan mudah dibakar oleh proyeksi imajiner atas ”bagaimana jika…” kelompok seberang berkuasa, dengan kecemasan yang ditimbulka­nnya sendiri. Dalam konteks ini, kita mudah melihat jika masingmasi­ng kelompok menarik diri dalam ekstremita­s yang sukar sekali dibayangka­n dampaknya.

Skizofreni­a Masyarakat politik yang telah tiba pada keputusan untuk mengekstre­mkan dirinya sendiri telah memicu pertanyaan: seberapa besar pertaruhan yang dibayangka­n sehingga satu kelompok masyarakat dapat bertindak demikian fanatik dan menutup diri pada alternatif pandangan lain?

Sebagian peneliti yang dikutip di awal tulisan menawarkan setengah jawaban atas pertanyaan ini. Genesis atas konflik politik hari ini mudah dilacak dari proses pemilu yang dramatik, dengan kampanyehi­tamyangber­acundalamm­enggalang dukungan pada masingmasi­ng kandidat. Pada dua pemilu presiden terakhir, orang disuguhi berita burung atau kabar palsu dengan tujuan menciptaka­n sebuah image tertentu dan menganalis­asi suara pada kandidat tertentu. Analisis berakhir pada peran elite politik dalam mengorkest­rasi dukungan dengan resep polarisasi sosial.

Tetapi, ada tanya yang tertinggal di sana: mengapa polarisasi ini demikian berkelanju­tan, sedang hariinikit­atahubahwa­duakandida­t yang terlibat dalam kontes pemilu yang ketat itu kini sudah bersatu dalam kapal yang sama? Mengapa kebencian bisa demikian berakar? Apakah ini semata-mata timbul sekejapdar­iperistiwa­dukung-mendukung pada pemilu lalu, ataukah ia berakar jauh lebih dalam dan lebih lama dari yang sudah dibayangka­n?

Pada situasi ini, dalam hemat penulis, penting untuk menemukena­li imajinasi politik yang terbaring sebagai fondasi perilaku dan sikap politik hari ini. Imajinasi ini membimbing kita dalam deskripsi atas diri, memersepsi ”ancaman”, mendefinis­ikan apa dan bagaimana sesuatu yang ideal itu, dan bagaimana relasi kita dengan pemerintah dan negara. Di antara gambaranga­mbaran imajiner ini, menurut Bottici (2007), terjadi pertukaran yang lentur antara realitas dan mitos.

Sebagian dari imajinasi ini dipanen dari pengalaman sehari-hari. Sebagian yang lain dari pengetahua­n lewat berita, buku, atau media lain. Dan sisanya didapat dari rumor, kabar burung, atau gosip sehari-hari. Yang menarik diamati adalah seberapa lama imajinasi ini ditabung dan diwariskan.

Kehidupan bermasyara­kat, dalam situasinya yang paling stabil dan tenang sekalipun, masih menggoresk­an stereotipe dan kecurigaan­kecurigaan atas satu dan beberapa kelompok. Endapan memori konflik di masa lalu ini membekas dan menyumbang kelahiran imajinasi politik di konteks sekarang. Ada yang tak tuntas dan tak teratasi dari konflik yang lalu. Sebutlah misal, pada konflik tajam antaretnis, atau genosida korban 1965, yang meninggalk­an luka dan kenangan buruk berikut rumor-rumor yang tak pernah sungguh-sungguh dicoba untuk dijawab dan diselesaik­an.

Ingatan dan cacat sejarah ini adalah ”tabungan” kenangan buruk dan prasangka yang lalu bertemu dengan kesialan yang lain: kontestasi politik. Kita masih dengan sangat segar mengingat betapa mudahnya elite menghambur-hamburkan ancaman dan stereotipe, mencurigai datang dan bangkitnya komunis, menuding bagaimana cara berpakaian tertentu muslim sebagai pertanda ia tidak Pancasilai­s, dan seterusnya. Orang bisa juga memercayai bahwa ratusan Taliban sungguh-sungguh membajak KPK, sebagaiman­a mengimani bahwa jutaan komunis sedang menyamar dan bersiap merebut republik.

Semua ini secara meyakinkan adalah upaya sistematis untuk menarik lagi keluar memori konfliktua­l dalam sejarah bangsa sekaligus membentuk ulang imajinasi politik orang. Kita juga masih ingat bertebaran narasi putus asa dalam bentuk ”the lesser evil”, pilihlah yang buruk di antara yang terburuk. Narasi yang tampak bijak ini, pada kenyataann­ya, mengaksele­rasi skizofreni­a politik yang melupakan sama sekali nilai baik.

Nilai menjadi demikian lemah dan tak berarti karena satu-satunya yang diharapkan saat itu adalah keputusan yang cepat untuk berpihak dan harus berpihak tidak boleh tidak. Dengan narasi semacam itu, masing-masing kepala akan mulai untuk mereposisi dirinya dalam berhadapan dengan kubu lain. Menganggap bahwa bahaya sudah benar-benar di ambang pintu. Dan hanya dengan memilih satu figur, ia beserta kelompokny­a akan diselamatk­an.

Kini kita semua tahu betapa berbahayan­ya tragedi yang tak tuntas di masa lalu. Bukan saja bahwa masa itu akan menjadi misteri dan beban sejarah, melainkan juga ia akan menjadi ladang kesempatan bagi para elite yang tak bertanggun­g jawab untuk memanen kebencian dan ketakutan demi tujuan elektoral.

Imajinasi politik kita hari ini, dan kecamuk yang dihasilkan darinya, bukanlah sesuatu yang penuh ketiba-tibaan. Ia lahir dari keengganan dalam menjernihk­an soal-soal masa lampau dan keserakaha­n politik masa kini. (*)

RENDY PAHRUN WADIPALAPA *)

*) Pengajar FISIP Universita­s Airlangga; mahasiswa doktoral bidang politik University of Leeds, UK

 ?? ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia