Pajak Karbon Perlu Pengawasan Fisik
Berlaku Tahun Depan, Tahap Awal Diterapkan di PLTU Batu Bara
JAKARTA – Pajak karbon menjadi salah satu poin penting yang ada dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Keberadaannya menjadi terobosan baru Indonesia ikut berpartisipasi dalam usaha pencegahan perubahan iklim.
Pengamat pajak Fajry Akbar mengapresiasi disahkannya pungutan pajak karbon yang mulai berlaku 1 April 2022 itu. Dia menjelaskan, sebagai salah satu negara yang paling rentan terdampak perubahan iklim, Indonesia sudah seharusnya ikut berpartisipasi dalam usaha pencegahan perubahan iklim.
Pemerintah sendiri telah berkomitmen dalam nationally determined contribution (NDC) untuk mengurangi emisi karbon pada 2030. ”Opsi ini yang paling menarik bagi pemerintah. Pengenaan pajak tak hanya mampu mengurangi emisi karbon, tapi juga meningkatkan penerimaan negara,” ujarnya kemarin (8/10).
Fajry melanjutkan, dari penerimaan negara tersebut pemerintah dapat mengalokasikannya untuk anggaran perubahan iklim. Dari 2016– 2019, APBN hanya berkontribusi sebesar 32,6 persen per tahun dari total kebutuhan pembiayaan sebesar Rp 266,2 triliun per tahun.
Dalam UU HPP, tarif pajak karbon yang ditetapkan sebesar Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (kg CO2e) atau satuan yang setara. Tarif itu kurang dari separo dari tarif yang diajukan pemerintah melalui surpres RUU KUP, yakni Rp 75 per kg CO2e.
Fajry menambahkan, ada beberapa hal lain yang belum dijawab dalam UU HPP. Misalnya proses pengawasan pajak karbon. Secara konsep tidak memungkinkan untuk melakukan quantitative
measurement (yang berimbas pada pengawasan fisik). ”Tentunya ini menimbulkan pertanyaan, apakah bisa melakukan pengawasan atas pajak karbon tanpa ditopang pengawasan secara fisik?” ujarnya.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menuturkan, tarif yang ditetapkan Rp 30 per kg CO2e tersebut tidak bersifat statis dan dapat diubah sesuai kondisi pasar karbon yang berlaku. Dia menjelaskan, skema pajak karbon tidak berdiri sendiri sebagai instrumen kebijakan fiskal untuk menurunkan tingkat emisi. Pungutannya melengkapi penerapan cap
& trade dalam perdagangan karbon.
Ini mulai dipersiapkan dengan KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dengan mengedepankan prinsip keadilan dan keterjangkauan,” terangnya.