Berdiri di Atas Jembatan Gantung
Membaca portofolio Gunawan Maryanto atau akrab disapa Cindhil secara cepat, kita menjadi tahu, ia bukan tipe pelancong budaya. Ia lebih tepat disebut sebagai penambang; ruang jelajahnya tidak terlalu random, tetapi mendalam. Ia hanya berada di dua ruang yang sesungguhnya masih serumah: sastra dan teater (termasuk film). Irisan keduanya terletak pada naskah lakon.
PADA sastra dan naskah lakon itu, ada satu tema yang terus diolahnya secara konsisten, yakni kebudayaan (Jawa) yang menjadi ari-ari mustikanya.
Selain Seno Gumira Ajidarma, Cindhil saya kira manusia paling serius memindahkan cerita pewayangan masuk dalam bingkai pengisahan kontemporer. Cerita yang biasanya hanya ditemukan di majalah khusus bisa dibaca penikmat sastra di media-media umum berbahasa Indonesia.
Tentu saja, untuk sampai ke level itu tidak mudah. Cindhil yang berperawakan kecil ini melawan segala keterbatasan dengan menjadi pembelajar yang keras. Juga kemampuan beradaptasi. Bisa dibayangkan bagaimana pergulatan Cindhil yang bertekun dengan dunia batin sastra Jawa tiba-tiba saja mesti memasuki dunia sastra Indonesia lengkap dengan eksperimennya; mulai ide, tema, langgam, hingga bentuk.
Newsletter BlockNote yang dikelolanya bersama Ugoran Prasad menjadi jejak eksperimen di bibir batas antara sastra Jawa dan sastra Indonesia; antara tradisi dan kontemporer.
Di Jogja, BlockNote (Teater Garasi) dan On/Off (AKY) menjadi dua media alternatif yang menjadi ruang bermainmain bagi sastrawan muda. Di dua media ini, semua yang sudah rapi dibongkar. Yang baku dan beku dicairkan. Bahkan, hukum tata bahasa pun dilabrak.
Cindhil, Puthut EA, Ugoran Prasad, Eka Kurniawan, dan sederet sastrawan Jogja yang berada dalam sekuensi pusaran pencarian ini bukannya tidak bisa menulis di koran-koran mapan. Mereka hanya sangat sadar bahwa semua bentuk yang mapan bikin ekosistem kreatif dangkal, keruh, itu-itu saja.
Antologi cerita Bon Suwung yang diterbitkan Insist Press pada 2005 adalah tonggak perjalanan kreatif Cindhil melewati jembatan gantung yang bergoyang setiap saat antara yang lama dan baru. Makanya, Budi Darma menyebut karya Cindhil itu ”asing”. Wajar saja karena di mana pun segala yang eksperimen adalah asing, liar, urakan. Mirip transisi kelahiran sastra siber menyambut fajar internet tahun 2000-an awal yang dicemooh dan diludahi.
Waktu Batu
Waktu Batu adalah naskah lakon yang ditulis Cindhil bersama dengan Ugoran Prasad dan Andre Nur Latif. Pada naskah lakon yang kemudian diterbitkan Indonesia Tera pada 2004 ini saya menangkap kesan betapa kerasnya usaha Cindhil belajar.
Ia memasuki dunia sastra dari yang lama ke yang baru (puisi dan cerpen), lalu terjun ke dalam dunia panggung yang membutuhkan bukan saja kecerdasan, tetapi juga fisik prima.
Sebetulnya, hal ini tidak terlalu mengagetkan mengingat Cindhil tidak saja berasal dari keluarga seniman (tradisi). Jarak rumahnya dengan Purna Budaya UGM (kini PKKH) hanya empat menit berjalan kaki. Di gedung inilah ia bisa menyaksikan banyak pentas. Dari Bengkel Teater Rendra, Teater Dinasti Emha Ainun Nadjib, hingga Teater Gandrik.
Artinya, indra visualnya sudah terbiasa melihat pentas teater modern yang sangat berbeda dengan panggung lakon seni tradisi.
Sebagaimana karakternya, seperti itulah Cindhil memilih teater jenis macam apa kelak ia pilih untuk mengembangkan diri sehabis-habisnya. Betapa, ia memasuki dengan sangat sadar Teater Garasi; sebuah kelompok yang mencari panggung dan penontonnya sendiri di luar penonton ”kelompok teater raksasa” yang sudah eksis dengan banyak nama besar. Di sini, Yudi Ahmad Tajudin seperti mesiah baru yang menunggu datangnya si anak bawang dari Karangmalang.
Sebagaimana BlockNote dan On/Off yang gelisah dengan bentuk penceritaan dalam sastra, Yudi Ahmad Tajudin adalah ”pembaru” yang gelisah dan pencari penuturan baru, gerak lakon baru. Ia suara baru dalam teater kontemporer.
Waktu Batu adalah tapal penting pencarian Cindhil. Ia yang berasal dari Jurusan
Sastra Jawa UGM bisa ambil bagian secara intim dalam penyusunan naskah Waktu Batu yang kemudian dipentaskan secara estafet di beberapa kota. Bahkan sampai ke luar negeri.
Pada Waktu Batu, kita bisa melihat sosok Cindhil menyatu dengan Garasi; ekosistem yang menantangnya untuk tetap berdiri setimbang di atas jembatan gantung yang terus bergoyang. Tenang, filosofis, absurd, aneh, kadang meledak. Demikianlah, kala situasi politik yang berisi sumpah serapah, kritik, justru dengan Waktu Batu kita dibawa ke pedalaman manusia yang senyap, keresahan yang tak terkata, dialog aneh antara tubuh dan mesin, serta impianimpian absurd.
Di Garasi pula kemudian Cindhil disergap oleh kegelisahan betapa penulisan naskah lakon dalam ekosistem kesusastraan kita terancam mandek. Apalagi, eksponen penting Teater Gardanalla, Joned Suryatmoko, menulis laporan bertitel ”Arsip Bergerak” di buku Arsipelago (2014) yang mengesankan betapa lusuhnya dunia penulisan lakon ini. Betapa kurang menggembirakannya.
Dari situ saya kira Cindhil tidak berpikir dua kali menerima ajakan Joned untuk bergerak cepat. Sebab, keadaan buruk ini tidak boleh dibiarkan berlarut. Jangan juga terlalu berharap banyak pada kampus yang mendaku diri punya fakultas sastra yang prestisius. Bisa jadi, penulisan kreatif naskah lakon ini tidak diminati sama sekali.
Saya kira, Indonesia Dramatic Reading Festival (IDRF) pertama pada 2010 lahir di titik kemuakan dengan keadaan. Selain kelompok teater itu sendiri yang mesti melahirkan naskahnya sendiri, diperlukan gerakan terencana dan komprehensif mendeteksi sekaligus memancing para kreator muda bertenaga besar berkecimpung dalam penulisan naskah lakon. IDRF menjadi modus pengarsipan yang dinamis dari apa yang kita kenal dengan ”arsip bergerak”.
Selain Joned, Cindhil saya kira salah satu manusia paling sibuk nyaris satu dekade mengurusi festival arsip ini. Pengarsipan dalam kemasan teater dan balutan festival yang melibatkan beberapa negara ini tentu saja jauh dari bayangan dunia pengarsipan formal yang dipelajari di kampus-kampus.
Sampai di sini, berpikir holistik dan pentingnya membangun ekosistem budaya secara inovatif adalah kompas berpikir penting Cindhil; dari hulu ke hilir; dari produksi naskah hingga panggung (layar lebar). Terkadang, jalan itu tidak stabil, mesti melalui jembatan gantung di mana di sana kita belajar berdiri menyeimbangkan diri terus-menerus. (*)