Jawa Pos

Emprit Gantil Punya Cerita

- Oleh SUJIWO TEJO

”Yang masih dapat dipercaya dari televisi cuma tayangan azannya.” Mural di tembok pagar keluarga Sastro-Jendro ini sudah sebulan lalu akan dihapus dengan cat tembok. Bagi Sastro, masih banyak, kok, tayangan televisi yang bisa dipercaya. Kalaupun bohong, minimal masih bisa menghibur tanpa menyesatka­n.

PJendro selalu ingin rebahan terus setiap hendak berangkat belanja alutsista, alat utama sistem tandingan mural.

Pergi ke toko cat yang biasanya ”samsat” dengan toko besi, batin Jendro, itu tugas suami. Kurang elok perempuan ngegas ke toko besi. Sastro bersikukuh. Katanya, advertensi tentang cat pagar sampai cat rumah biasanya bintang iklannya perempuan. Yang artinya, perempuan sudah tak tabu lagi berlepotan cat, selain berlepotan mal.

”Bukan itu maksudnya, Cuk!” tukas Jendro. ”Kenapa reklame cat malahan sampai reklame ban juga pasang gambar perempuan, sebab perempuanl­ah yang pada akhirnya memutuskan membeli atau tidak suatu produk. Keputusan belanja ada di perempuan. Tapi yang belanja tetap laki-laki…”

”Memangnya kamu Bu Sri Mulyani?”

”Tentu tidak, Cuk! Aku Jendro. Tapi mungkin kamu Pak Prabowo, yang akan belanja alutsista itu… O ya, selamat ultah TNI ya…”

”Ya, nggak lah… Aku ini Sastro... Bukan Pak Prabowo… Tak ada nalarnya aku harus belanja sendiri alutsista itu… Apalagi alutsista ini kan

nggak sampai triliunan. Masak laki-laki belanja kurang dari triliunan?”

Tak heran selama sebulanan setiap pelintas rumah Sastro-Jendro melihat tulisan di tembok itu. Warna huruf-hurufnya merah dan putih. Ada gambar layar televisi yang sudah retakretak dan diselotip di sana-sini. Ada pula garisgaris warna-warni tentang lelaki yang menutup kedua telinganya. Tampaknya sedang azan.

Seorang reporterwa­ti televisi panas melihat mural itu, padahal hari sedang gerimis-gerimisnya. Ia ingin segera menghapusn­ya. Kebetulan baru saja ia belanja cat tembok atas bujukan suaminya yang ahli merayu. Sayang sekali jalanan macet. Jalan tinggal tersisa satu lajur yang dilewatiny­a, dan tepat di belakang mobil reporter itu ada ambulans dengan sirene meraung-raung.

”Televisi nggak gitu-gitu amat!!!” pekiknya dalam hati. Rona keningnya yang kemerahan basah oleh gerimis yang bening menambah manisnya. Cat tembok dan kuas sudah ditenteng dengan jemari lentiknya. Ah, ia segera masuk mobil lagi setelah yakin bahwa ambulans ini benar-benar sedang mengangkut orang sakit. Bukan mengangkut jenazah yang penguburan­nya bisa ditunda, alih-alih mengangkut orang tak sabaran yang malas ikut antrean macet.

***

Itulah preambul cerita tuturan emprit gantil.

Ceritanya termaktub di sela-sela kicau khasnya ”klik…klik…klik… kulikuliku­li…klik…klik... klik…kulikuliku­lik…” Cerita itu ada di keheningan…di antara titik-titik itu… Dan cerita itu sangat jelas bagi orang-orang yang peka terhadap keheningan.

Emprit gantil di pohon cerme pekarangan belakang Sastro-Jendro melanjutka­n hening-heningnya.

Sebulan telah berlalu. Masih juga Sastro tak kunjung sukses merayu Jendro membeli alutsista penghapus mural. Sampaisamp­ai Sastro menjual penalaran tingkat tingginya walau belum sampai menjual agama.

”Dik Jendro, please pergilah membeli cat… Niatkan bahwa kita ini tidak cuma menghapus mural pembikinny­a… Tapi juga menghapus karmanya. Dulu orang ini mungkin antimural, lalu kemakan omongannya sendiri, menjadi suka melihat mural. Kutukan ditambah. Tak hanya suka melihat mural, malahan dijadikan orang yang demen membuat mural.”

Obrolan tingkat tinggi ini pun tetap tak ngaruh. Jendro tetap tak tergerak ke toko besi. Penyuka emprit itu hanya dibuat teringat bahwa Bung Karno, Bapak Revolusi, dijatuhkan oleh revolusi. Pak Harto, Bapak Pembanguna­n, digulingka­n oleh hasil-hasil pembanguna­n. Gus Dur, Bapak Reformasi, diturunkan oleh reformasi itu sendiri. Itu beberapa di antara contoh besar. Ada pula contoh kecil. Seorang penyusun draf RUU ITE dipenjara gegara perbuatann­ya dijerat oleh pasal-pasal ITE itu sendiri walau pekan ini sudah diamnesti.

Jendro hanya sempat sedikit tersentak. Tapi kembali rebahan, mengurungk­an niatnya membeli cat.

Harusnya Sastro sanggup merayu istrinya andai berkonsult­asi dengan suami reporterwa­ti tadi. Apa resepnya agar rayuan suami cespleng? Gancil: walau kenyang karena baru makan di jalan bersama temanteman, pulangnya tetaplah makan makanan yang sudah disiapkan istri seolah-olah benar-benar lapar.

*** Sudah sekian jam SastroJend­ro lingsir wengi itu menyetop kendaraan di hutan Ngawi. Ban mobilnya pecah. Ada ban serep, tapi kunci dan dongkrak tak ada. Semua pengendara ingin menolong, tapi takut berhenti, waswas janganjang­an penyetop ini hanyalah begal yang pura-pura bersama istri, seperti pengemis yang membawa bayi sewaan.

Terdengar lolong serigala. Mobil jip berhenti. Giliran Sastro-Jendro yang ketakutan. Empat lelaki gempal-gempal turun.

Setelah membantu penggantia­n roda, yang paling tua mendekati Sastro. ”Pak, saya nggak minta imbalan uang. Gantiin saja cat tembok di jip. Ada 99 kaleng. Sisa proyek.”

Sastro lupa berapa duit. Jantungnya tak jadi copot saat dipepet lelaki itu, yang dia sangka mau merampas mobilnya. Hanya itu yang diingatnya.

 ?? ??
 ?? ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia