Beginilah Anies, Begitulah Anies
Penulis buku berusaha menempatkan Anies Baswedan di titik tengah dari dua kubu yang terus menyorotinya.
Anies memang tidak mudah. Ia berada di tengah dari dua kutub sorotan yang berlawanan.
Pada satu sisi, kutub pembenci begitu gencar mengkritiknya. Pada sisi lain, kutub pemuja sangat menyanjungnya. Berada di tengah ini menjadikan Anies lebih hati-hati, ekstrawaspada.
Dan, buku ini memotret bagaimana Anies menghadapi kritik serta puja-puji itu. Penulis buku berusaha menempatkan Anies berada di titik tengah dari dua kubu yang terus menyorotinya. Meski pembelaan terhadap Anies tak bisa ditutupi, yang terbaca jelas saat membahas langgam Anies menghadapi pembingkaian (framing) media (halaman 17–19).
Sorotan media terhadap kata ”pribumi” yang diujarkan Anies dalam sebuah pidato lalu direspons penulis buku ini lewat tulisan apologi. Disebutnya ada framing terhadap Anies yang bersumber dari kebijakan media.
Bahkan, prasangka terhadap media ini lalu disebut pula sebagai ”tidak adil” terhadap Anies. Selintas, respons ini biasa saja. Namun, terasa betul kedekatan penulis buku pada figur yang ditulisnya. Kedekatan ini bisa menimbulkan anggapan respons penulis buku bersifat subjektif pada Anies.
Media massa akan selalu menyodorkan nilai berita
(news value). Ketokohan Anies yang dibalut ujaran kontroversial tentu punya nilai berita tinggi. Ini bukan soal pembingkaian, tapi ini soal nilai berita.
Ketika Anies menyertakan kata ”pribumi” dalam pidatonya, nilai berita Anies meroket. Banyak orang dibuat penasaran kenapa seorang gubernur berujar demikian. Ketika dipermasalahkan para kritikus Anies, itu soal lain sebab sudah berdimensi politis. Anies sendiri tak ambil pusing pada geger ujaran ”pribumi” itu.
Justru para pendukung Anies yang tak terima, lalu menuding kritikus Anies gagal fokus pada isi pidato Anies. Idem dito saat merespons balik aneka meme kritis pada Anies.
Para pendukung Anies menyebut ”Anies-haters” (pembenci Anies) sebagai kaum otak dikit (OD), dan kaum OD ini dicurigai terprogram bak zombi yang digerakkan. Dari sini bisa diketahui konfrontasi kian menajam, sementara Anies sama sekali tak terpancing.
***
Ada tiga bagian dalam buku ini. Pertama, menyoroti fitnah sekaligus upaya sistemik pembunuhan karakter Anies. Dalam bagian ini, Anies di posisi terbaca sebagai target sorotan
buzzer dan para pembencinya. Berbagai isu tak sedap dilemparkan ke Anies, bahkan sampai upaya menurunkan citranya juga terjadi.
Penulis buku membedahnya dengan telaten sembari menunjukkan di mana kelemahan sorotan sinis pada Anies itu. Sebagai target sorotan, Anies bersikap pasif. Sebaliknya, para pembelanya yang sangat aktif menangkis serangan dari segala penjuru jagat maya.
Seperti ketika seorang politikus partai penguasa di DPRD Jakarta yang berkomentar sinis terhadap penghargaan internasional yang diterima Anies. Komentar ini beredar di media massa.
Namun, pihak pemberi penghargaan lalu memberi alasan kenapa memilih Jakarta. Yakni, Jakarta mengembangkan transportasi yang baik dan adil untuk semua. Dan, pembela Anies pun menambahkan lewat analogi keharuman sekuntum mawar. Sang mawar tak perlu mempropagandakan keharumannya, namun keharuman mawar semerbak di mana-mana (halaman 33).
Kedua, penulis buku melihat Anies sebagai pejabat publik dari gestur dan kinerja. Boleh dikata, bagian ini hendak mengungkap rahasia di balik ketenangan Anies menghadapi badai kritik. Diawali dengan kupasan pada pidato ”pribumi” yang bikin geger. Keriuhan
buzzer anti-Anies mewarnai jagat media sosial.
Mereka, para Aniesfobia, menuding gubernur DKI telah mempertajam isu pribumi-nonpribumi. Isu ini sangat sensitif, apalagi Pilkada Jakarta 2017 memang telah dibarengi keterbelahan pemilih secara ekstrem. Sebagai calon gubernur kala itu, Anies dituding telah menggunakan modus politik identitas guna meraih kemenangan.
Para kritikus Anies menemukan momentum pada kata ”pribumi”. Sebenarnya, ini hanyalah momentum politik guna menguji ketahanan mental Anies setelah terpilih. Dan terbukti, Anies tak grogi, apalagi kikuk, menghadapi momentum tersebut.
Penulis buku menyebut, kualitas emosional Anies memang memadai karena ia telah ditempa jauh sebelum dirinya menjadi pejabat publik (halaman 94–95). Tempaan masa lalu dipadu kecepatan membaca situasi telah membuat gestur Anies tenang sembari menjaga irama kinerja.
Ketiga, bagian akhir buku, penulis melihat para aktor seputar Anies. Ada kisah Jusuf Kalla, ada cerita Tri Rismaharini, ada lakon Ganjar Pranowo, serta ada pula soal Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Walau ditulis secara terpisah melalui sudut pandang berbeda, sangat jelas terbaca sikap hati-hati penulis dalam mengomentari kiprah para aktor tersebut. Tak bisa sebebas menilai pribadi plus kinerja Anies. Misal, saat mengupas cuitan Ferdinand Hutahaean di
Twitter-nya ihwal Jusuf Kalla (halaman 176–180), penulis harus melihat secara terperinci karena cuitan tersebut berujung pelaporan keluarga Jusuf Kalla ke kepolisian.
Ada nuansa simpatik pada Jusuf Kalla ketika penulis buku ini mengupas soal tersebut. Sebaliknya, terasa pula letupan kritik ketika menyoroti kiprah Menteri Sosial Tri Rismaharani di Jakarta.
Ketika Risma, sapaan akrab Mensos, blusukan ke Sungai Ciliwung (halaman 186–187), spontan tersirat penulis mengkritiknya. Lewat cara membandingkan pada kondisi sungai penuh sampah yang tak sempat disentuh Pemkot Surabaya. Kala itu, Risma masih menjabat sebagai wali kota Surabaya.
***
Buku ini memang sekadar catatan ringan ihwal aktor sentral, Anies Baswedan. Serba-serbi yang tak terlalu berat untuk dibaca. Kupasan mengalir melalui cara memotret Anies dari tiga bagian, yakni figur, kinerja, dan aktor lain sekitarnya. Tentu saja, menimbang pesohor tidaklah mudah. Beginilah Anies apa adanya, begitulah pendukung Anies mewarnainya.