7,4 Juta Ton Makanan Terbuang
Jatim Jadi Penyumbang Terbesar Food Waste
SURABAYA – Problem penanganan limbah begitu kompleks. Sebab, selain jenisnya beragam, kuantitasnya membawa banyak dampak negatif bagi lingkungan.
Salah satu yang saat ini menjadi sorotan adalah food waste (sampah makanan). Produksi sampah jenis itu cukup tinggi. Tak hanya secara nasional, tapi juga di wilayah Jatim.
Berdasar data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), secara nasional jumlah produksi sampah makanan diperkirakan mencapai 13 juta ton dalam setahun. Estimasinya, setiap warga membuang sampah sebanyak 115 hingga 184 kilogram per tahun.
Dari jumlah itu, salah satu daerah dengan produksi terbanyak adalah Jawa Timur. Dengan asumsi jumlah penduduk mencapai 40,6 juta jiwa, diperkirakan sampah makanan yang dihasilkan di Jatim antara 4,67 hingga 7,48 juta ton setiap tahun. Jika dikalkulasi, angka itu setara 15,5 hingga 20,3 persen dari total produksi food waste secara nasional. Angka yang begitu tinggi.
Ada sejumlah faktor yang memicu tingginya food waste, terutama di Jatim. Salah satunya, banyak masyarakat yang kurang memahami food waste. Mereka juga tidak menyadari bahwa dirinya memproduksi food waste. Bahkan hampir setiap hari.
Situasi itu mendapat perhatian. Termasuk dari pemangku kebijakan. Sebab, dampak negatifnya cukup tinggi. ’’Kami mengajak masyarakat untuk mengurangi produksi sampah makanan ini,” kata Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa.
Dia menyebutkan, ada sejumlah cara untuk mengurangi produksi food waste. Mulai pemilihan menu makanan harian hingga perhitungan porsi makanan sesuai kebutuhan. Dengan begitu, debit sampah makanan bisa berkurang secara bertahap. ’’Sebab, ada cukup banyak dampak food waste,” imbuh Khofifah.
Salah satu yang paling terpengaruh adalah lingkungan. Sebab, food waste memicu pemanasan global. Pada kurun waktu tertentu, sampah membusuk dan terdegradasi. Lalu menghasilkan metana dan lepas ke lingkungan.
Metana merupakan salah satu gas yang memicu pemanasan global. Selain itu, akumulasi sampah dan metana pada TPA (tempat pembuangan akhir) yang berlebihan bisa mengakibatkan ledakan.
Karena itu, pengelola sampah harus memperhatikan sampah makanan tersebut. ”Selain pengelolaan, perlu mengubah perilaku agar debit sampah makanan berkurang secara bertahap,” katanya.