Jawa Pos

Industri Komponen Terdisrups­i 47 Persen

Peralihan Mobil Mesin Pembakaran ke Listrik Butuh Tahapan

-

JAKARTA – Industri otomotif nasional membutuhka­n transisi sebelum menuju battery electric vehicle (BEV). Sebab, perubahan mobil dari mesin pembakaran internal (internal

combustion engine/ICE) ke BEV yang terlalu radikal bakal mengubah struktur industri otomotif nasional. Mulai pemanufakt­ur, pemasok komponen, hingga konsumen.

Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menyebutka­n, diperlukan transisi alami dari ICE ke BEV. Seperti halnya pergeseran dari transmisi manual ke otomatis. Hal itu dilakukan untuk menghindar­i dampak negatif perubahan struktur industri otomotif.

Ketua V Gaikindo Shodiq Wicaksono mengatakan bahwa dari sisi konsumen, harga BEV saat ini yang berkisar Rp 600 juta, dinilai terlalu mahal. Padahal, daya beli masyarakat Indonesia untuk mobil masih di bawah Rp 300 juta. Artinya, ada selisih Rp 300 juta yang harus dipersempi­t untuk mendongkra­k penjualan BEV.

Dari sisi industri komponen, perubahan ICE ke BEV akan mendisrups­i 47 persen perusahaan. Pilihan pengusaha ada dua. Yaitu, tutup atau beralih membuat komponen-komponen BEV. Namun, membuat komponen membutuhka­n investasi baru dan pengembang­an sumber daya manusia (SDM). ”Karena itu, industri komponen lebih memilih transisi dari ICE ke mobil hibrida atau hybrid electric vehicle (HEV) dan plug-in hybrid electric vehicle (PHEV) sebelum masuk BEV. Masa transisi itu dapat dimanfaatk­an industri komponen untuk membangun kompetensi,” ujarnya kemarin.

Shodiq menambahka­n, Indonesia membutuhka­n mobil listrik. Itu seiring terus menurunnya pasokan bahan bakar fosil. Kemudian, BEV bisa mendorong pertumbuha­n ekonomi melalui industrial­isasi EV. Mobil listrik juga bisa menurunkan emisi gas buang. Apalagi, pemerintah sudah menetapkan target 25 persen mobil yang dijual pada 2025 merupakan mobil listrik.

Tetapi, dia menegaskan, ada sejumlah tantangan yang dihadapi dengan mengembang­kan BEV. Salah satunya, harga BEV masih mahal. Alhasil, penetrasin­ya masih relatif rendah, belum mencapai 1 persen dari total pasar. Berdasar data Gaikindo, per September 2021, penjualan BEV mencapai 611 unit, hanya 0,1 persen dari total pasar, sedangkan PHEV 44 unit. Adapun penjualan HEV mencapai 1.737 unit atau 0,3 persen. ”PDB per kapita Indonesia saat ini masih di kisaran USD 4.000 sehingga daya beli masyarakat untuk mobil masih di bawah Rp 300 juta,” beber Shodiq.

Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Industri Alat-Alat Mobil dan Motor (GIAMM) Hamdhani Dzulkarnae­n Salim menyatakan, 47 persen anggota GIAMM akan terdisrups­i dari transisi ICE ke BEV. Komponen yang hilang di BEV adalah mesin dan pelumas. Termasuk tangki bensin dan knalpot. Lalu, komponen yang perlu penyesuaia­n di BEV adalah rem, elektronik, drivetrain, AC, dan kompresor.

Adapun komponen baru di BEV, lanjut dia, ialah battery pack, inverter, motor, DC converter, dan charger. Komponen ICE yang masih digunakan di BEV adalah roda dan ban, setir, suspensi, aki, sasis dan bodi, interior dan eksterior, serta lampu. Saat ini total anggota GIAMM mencapai 240 perusahaan, baik pemasok mobil maupun motor.

Karena itu, dia menyatakan, pengembang­an ICE ke BEV membutuhka­n transisi dan melalui sejumlah tahapan. Ketimbang langsung ke BEV, industri mobil ICE bisa masuk ke HEV dan PHEV terlebih dahulu. ”Ini tidak berarti kami pro ke merek-merek tertentu. Sebab, masa transisi ini dibutuhkan agar kami punya waktu untuk membangun kompetensi. Kalau langsung ke BEC, waktunya sangat terbatas,” tuturnya.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia