Santri, Pesantren, dan Ulama
SOFISTIKASI sains dan teknologi di era internet of things (IoT) serta budaya modern telah membuat para ahli khawatir bisa berpengaruh fatal terhadap kehidupan manusia. Bahkan, semua makhluk yang ada di bumi ini. Ketika perubahan sosial dan budaya dalam masyarakat semakin terasa dampaknya, tuntutan terhadap peran agama semakin besar. Sementara kepergian ulama satu demi satu terus bertambah dan belum muncul penggantinya yang signifikan. Maka, pada gilirannya tuntutan terhadap ulama pun tak kalah besarnya. Sebab, merekalah estafet perjuangan Nabi (warasat al-anbiya).
Program kaderisasi ulama sudah dimulai sejak tahun 1980-an. Salah satu dasarnya adanya keprihatinan atas semakin berkurangnya minat anak-anak untuk mengaji dan belajar di pesantren. Seperti yang pernah diberitakan Panjimas era ’80-an (601/1989), dari 150 responden para putra kiai yang dibagikan angket oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) saat itu, hanya 5 persen yang tertarik dengan pendidikan pesantren. Maka, kekhawatiran masa depan sejumlah pesantren ternama pun timbul di sana-sini.
Pesantren yang secara historis memiliki kontribusi besar itu sedang dipertanyakan masa depannya. Salah satu sebabnya adalah soal penerus kiai. Regenerasi pesantren dianggap berjalan tidak seimbang. Banyak putra kiai yang tidak mampu membaca kitab.
Kondisi semacam inilah yang mengetuk MUI pada saat itu untuk menyelenggarakan program kaderisasi ulama. Sejumlah 20 peserta lulusan S-1 IAIN dari 16 provinsi, rata-rata berusia 30 tahun, digodok dan dibekali dengan mata kuliah pokok: ulum Alquran, tafsir, ulum alhadis, bahasa dan sastra Arab, fikih perbandingan, fikih siasah, ushul fikih, filsafat Islam, ilmu kalam, tasawuf, dan mata kuliah lintas disiplin.
Pada 2017, melalui beasiswa Baznas, MUI meneruskan program tersebut. Di setiap angkatan ada 20 orang yang mengikuti program doktoral selama tiga tahun. Tahun ini, 2021, beasiswa tersebut kembali dibuka dan dikhususkan untuk mahasiswa program doktor atau S-3. Kandidat penerima beasiswa Kaderisasi Seribu Umat (KSU) itu harus memiliki prestasi akademik yang baik dan berasal dari keluarga tidak mampu. Kelak ada 15 kandidat dari angkatan 2021–2024 yang direkrut sebagai penerima beasiswa selama tiga tahun.
Kaderisasi ulama yang bagaimana? Tentu kaderisasi ulama yang diperlukan adalah ulama yang berwawasan masa depan dalam menghadapi masyarakat yang semakin terbuka dan maju, berkepribadian, independen, dan menjadi panutan masyarakat.
Pola Pendidikan Pesantren Pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia memiliki aset besar dalam pengembangan kepribadian. Antara lain, adanya perhatian besar kiai terhadap santri, rasa hormat dan tawadu santri terhadap kiai, hidup sederhana, hemat dan mandiri, kesetiakawanan, saling menolong, disiplin, serta tahan uji. Dalam kehidupan pesantren, terlihat leburnya individualisme dan egoisme.
Apalagi kalau dikaitkan dengan persoalan pengangguran, pesantren tidak akan khawatir dengan pekerjaan. Sebab, pesantren memang tidak menjanjikan kerja (promise of job). Tujuan pendidikan pesantren yang asasi adalah untuk mencetak manusia berilmu dan bertakwa. Berilmu saja tanpa disertai takwa akan menjadi riskan, begitu pun sebaliknya. Maka, lulusan pesantren pada umumnya tidak kenal menganggur. Karena dengan modal soft skill-nya, mereka bisa bekerja di hampir semua sektor.
Sistem pendidikan pesantren hingga saat ini masih yang terbaik karena tiga hal. Pertama, pola pendidikan live in (tinggal di ma’had) selama masa belajar. Kedua, adanya kurikulum yang tersembunyi (hidden curriculum) dari para kiai dan ustad yang menjadi role model bagi para santrinya. Ketiga, tradisi santri yang memiliki sikap dan karakter tawadu, ulet, dan mandiri. Sikap-sikap tersebut menjadi kebutuhan yang sangat didambakan di era modern seperti sekarang ini.
Selain itu, pendidikan di pesantren juga bersifat inklusif dan tidak membatasi usia santri. Siapa pun bebas belajar (nyantri) di pesantren, termasuk yang tidak memiliki biaya hidup. Karena para kiai memiliki tanggung jawab dan perhatian besar terhadap keberlangsungan pendidikan anak bangsa. Tradisi pendidikan khas pesantren inilah yang kemudian menginspirasi para pengelola pendidikan di beberapa perguruan tinggi keagamaan Islam (PTKIN) untuk menyelenggarakan program ma’had yang memadukan pendidikan tinggi dengan pesantren. Salah satu contohnya yang sudah berlangsung lama di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
Tentang pentingnya pendidikan mental atau karakter, psikolog Reuven Bar-On menjelaskan bahwa IQ manusia rata-rata hanya berpengaruh 6–20 persen dalam menentukan keberhasilan. Sementara 80–90 persennya lebih ditentukan oleh attitude (karakter). Institut Teknologi Carnegie memaparkan bahwa dari 10 ribu orang sukses, 15 persennya karena kemampuan teknis. Sedangkan 85 persennya karena faktor-faktor kepribadian (karakter).
Penelitian yang dihasilkan Dr Albert Edward Wiggam menunjukkan, 10 persen dari 4 ribu orang kehilangan pekerjaan karena kemampuan teknis. Sedangkan 3.600 orang lainnya atau 90 persen karena faktor kepribadian. Dalam era modern yang menurut Alvin Toffler ditandai dengan budaya impersonal dan ketergantungan teknologi ini, tradisi pesantren yang mandiri, ulet, dan tahan uji harus tetap dipertahankan.
Selain itu, kompetensi yang perlu dipertahankan di pesantren adalah tradisi tafaqquh fiddin. Terutama dalam kompetensi materi bidang Alquran dan ilmu-ilmu alatnya serta bahasa Arab. Karena materi-materi tersebut menjadi modal di masyarakat dan untuk melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi, terutama di PTKIN. Oleh karena itu, yang perlu dipikirkan sekarang, bagaimana pendidikan pesantren ini terus dikembangkan dan diperbarui untuk menghadapi dunia yang semakin kompleks dan global. Maka, pemenuhan materi IT dan bahasa Inggris menjadi sangat penting artinya untuk menyongsong masa depan yang semakin cerah dan menjanjikan. Semoga. (*)
M. ZAINUDDIN *) Siapa pun bebas belajar (nyantri) di pesantren, termasuk yang tidak memiliki biaya hidup. Karena para kiai memiliki tanggung jawab dan perhatian besar terhadap keberlangsungan pendidikan anak bangsa.”
*) Guru besar sosiologi agama dan rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang