NU Bermasa Depan
mendukung demi kemajuan NU. Happy ending.
Faktor Kunci Kesuksesan
Pertama, keinginan dan kesadaran warga nahdliyin, khususnya para masyayikh, yang sangat kuat agar kegaduhan pada muktamar ke-33 di Jombang tidak terulang. Kesadaran kolektif itu menjadi ”mesin” penghapus trauma muktamar ke-33 sekaligus sebagai energi positif untuk mengantarkan muktamar ke-34 dengan sejuk. Oleh karena itu, sebagai ketua panitia pengarah, berkali-kali penulis menegaskan pentingnya mendesain agar muktamar ke-34 berlangsung dengan sejuk. Mengubah kandidasi dengan menampilkan daftar negatif (negative list) kandidat menjadi daftar positif (positive list).
Kedua, muktamar ke-34 merupakan muktamar terakhir pada 100 tahun pertama NU sekaligus mengantarkan NU memasuki 100 tahun kedua. Jangan sampai pada estafet terakhir, kita ”gagal” menyerahkan estafet kepemimpinan memasuki 100 tahun kedua. Semangat 100 tahun dan harapan lahirnya pembaharu-mujadid (kolektif ) dan sistem baru dalam mengelola sumber daya NU menjadi pendorong muktamar ke-34 harus sukses. Tidakkah, Rasulullah SAW pernah bersabda: ”Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini pada setiap penghujung seratus tahun seseorang yang memperbaharui agamanya.” (HR Abu Daud)
Ketiga, di tengah menguatnya saling dukung menyebabkan polarisasi makin kuat. Namun, di saat yang sama, potensi terjadinya benturan makin kuat. Untuk mengurangi terjadinya benturan, steering committee (SC) menyiapkan ruang dialog sebagai jembatan penghubung untuk
MOHAMMAD NUH *) memperbesar common sense sekaligus memperkecil perbedaan. Kesejukan dan kesuksesan muktamar adalah tanggung jawab bersama, sedangkan siapa yang terpilih adalah takdir. Beberapa kali dialog itu dilakukan. Sebelum muktamar dimulai sampai muktamar berlangsung. Penyelesaian di luar persidangan sangat efektif untuk menekan terjadinya benturan. Itulah sebabnya dilakukan beberapa kali skors. Dengan menggunakan pendekatan tersebut, sidang pleno yang krusial seperti pembahasan tata tertib, laporan pertanggungjawaban, sidang AHWA untuk menetapkan rais aam, dan pleno pemilihan ketua umum, semuanya berlangsung dengan sejuk.
NU Bermasa Depan
Tidak banyak organisasi yang bisa bertahan hingga 100 tahun. Alhamdulillah, NU sebentar lagi berusia 100 tahun. Bahkan, bila dilihat secara saksama, NU memiliki masa depan (bermasa depan) sangat luar biasa. Dengan catatan tidak salah kelola (mal-manage). Optimisme itu didasarkan atas beberapa faktor kunci (geostrategis) NU ke depan.
Pertama, bonus demografi. Sebagai bagian dari Indonesia yang sedang menikmati populasi usia
Untuk mengurangi terjadinya benturan,
(SC) menyiapkan ruang dialog sebagai jembatan penghubung untuk memperbesar sekaligus memperkecil perbedaan.”
produktif yang jumlahnya luar biasa dan puncaknya diperkirakan hingga 70 persen dari populasi (2035), maka dengan menggunakan logika sederhana, tentu yang paling banyak berusia produktif adalah warga NU. Apa alasannya? Populasi Indonesia yang beragama Islam 87 persen, warga nahdliyin (kedekatan dengan NU) 59,2 persen (Hasanudin Ali, 2021). Inilah peluang sekaligus tantangan bagi NU ke depan. Apakah populasi usia produktif tersebut bisa menjadi bonus demografi atau malah menjadi bencana demografi.
Penguatan layanan pendidikan (termasuk ponpes) dan kesehatan yang berkualitas, terjangkau, serta berkeadilan menjadi syarat mutlak agar tidak terjadi bencana demografi. Demikian juga pemberdayaan ekonomi dan sistem dakwah yang mengajarkan, memahamkan, dan menjadikan aswaja sebagai habituasi publik, khususnya bagi digital native, sebagai bagian dari ekosistem NU yang harus dikembangkan.
Kedua, mobilitas vertikal warga nahdliyin, baik secara akademik, sosial, ekonomi, maupun politik. Makin banyak warga NU yang berkesempatan melanjutkan pendidikan dan jabatan akademik yang lebih tinggi. Profesi yang ditekuni lebih variatif. Semula lebih terkumpul
steering committee
di bidang keagamaan, sekarang mengalami penyebaran ke profesi lain seperti dokter, insinyur, dan sebagainya. Hal itu meniscayakan untuk meredesain dan ekspansi rumah besar NU agar mampu menampung sekaligus memobilisasi sumber daya NU. Bila tidak, dikhawatirkan NU mengalami brain drain sumber daya terbaiknya, termasuk para diaspora NU. Menjadikan lembaga riset dan inovasi dengan memanfaatkan data-data yang dimiliki NU, transformasi digital, dan inkubasi bisnis adalah sebagian dari ekosistem baru NU.
Ketiga, bonus digital. Semua menyadari bahwa sekarang ini adalah era digital, dengan teknologi digital sebagai teknologi yang dibutuhkan semua disiplin kehidupan (generic purpose of technology/GPT). Karena sifatnya sebagai GPT, transformasi tata kelola organisasi melalui transformasi digital bukan pilihan (choice), melainkan keharusan (imperative). Kalau tidak, kita hanya mendapat manfaat paling rendah dari teknologi digital, yaitu sebagai pendukung (support). Padahal, masih ada level manfaat di atasnya, yaitu sebagai penggerak (driver), pemungkin (enabler), transformasi (transformer), dan mesin disrupsi (disruptor).
Masa depan NU sangat berpengaruh terhadap masa depan Indonesia. Bukan karena jumlah populasi warga NU semata, namun paham keagamaan dan kebangsaan NU yang telah menjadi pengikat dan penguat NKRI. Kini saatnya melakukan transformasi aset NU yang sifatnya intangible, tangible menjadi aset real dan berujung pada kekuatan real. Kontribusi NU bagi Indonesia makin kuat dan nyata. Insya Allah. (*)
common sense
*) Ketua Steering Committee (SC) Muktamar Ke-34 Nahdlatul Ulama