Repatriasi Bukan untuk Positif Covid
Hotel Bersiap Jadi Lokasi Karantina Kedatangan Luar Negeri
SURABAYA
– Bandara Internasional Juanda tengah dipersiapkan untuk kembali membuka kedatangan penerbangan internasional. Artinya, akan banyak warga yang datang dari luar negeri untuk menjalani karantina. Terutama pekerja migran Indonesia (PMI).
Menyambut kesiapan Surabaya sebagai pintu masuk WNI dan WNA dari luar negeri, hotel-hotel di Surabaya turut bersiap. Ketua PHRI Jawa Timur Dwi Cahyono menyatakan, pihaknya sudah mengumpulkan pengelola hotel yang menyanggupi kebutuhan karantina repatriasi. ’’Hotel bintang 1 sampai bintang 5 sudah diberi arahan kebutuhannya seperti apa,’’ ujarnya.
Hingga saat ini, pihaknya masih fokus pada kesiapan pengelola dan fasilitas yang ada. ’’Kami pantau semua kebutuhan. Termasuk wifi dan lainnya,’’ jelas Dwi. Dia menyatakan, PHRI Jatim dan hotel juga masih melihat evaluasi alur masuknya warga negara Indonesia (WNI) dan warga negara asing (WNA) dari luar negeri ke Surabaya.
’’Arahan yang kami terima, selama sepekan mereka akan
diterima di tiga asrama yang sudah dipilih,’’ jelasnya. Setelah ada pemantauan dan evaluasi selama sepekan, hotel-hotel baru dibuka untuk kebutuhan karantina repatriasi. Jadi, jeda waktu sepekan itu digunakan untuk melengkapi kebutuhankebutuhan lain yang harus ditambah di hotel.
Dwi menjelaskan, sebenarnya sudah banyak pengelola hotel yang paham. Apalagi, karantina repatriasi diperuntukkan bagi PMI atau non-PMI dengan kondisi sehat. Tujuannya, memastikan kondisi mereka aman hingga bisa bertemu dengan keluarga. ’’Jadi, bukan untuk kondisi positif Covid-19, lho, ya,’’ tegasnya. Karena itu, pengelola hotel berfokus pada fasilitas supaya mereka bisa menginap atau bahkan bekerja dengan nyaman dari hotel.
Meski begitu, warga berharap biaya yang ditarik untuk kebutuhan karantina repatriasi bisa lebih murah daripada di Jakarta. Endah Setyowati, warga yang harus menjalani karantina repatriasi, menyatakan bahwa biaya karantina repatriasi di Jakarta cukup memberatkan. Dia merogoh kocek hingga Rp 9 juta. ’’Kami kan bukan semuanya dari jalan-jalan. Banyak juga yang kebutuhan pekerjaan,’’ ucap perempuan yang bekerja di bidang pendidikan tersebut.
Dia mengakui, informasi terkait dengan karantina repatriasi memang kurang detail didapatkan orang yang akan masuk ke Indonesia. Mereka lebih banyak harus mencari informasi sendiri dari banyak pihak. Dia juga berharap keketatan informasi kesehatan bukan hanya ditekankan pada WNI yang masuk Indonesia, melainkan juga petugas-petugas yang menangani mereka.
’’Sekarang kami yang mau naik pesawat pasti harus PCR. Pas sampai, juga PCR. Tapi, penjemput dan petugas yang mengarahkan kami tidak rutin di-PCR,’’ jelasnya. Dia mengaku iseng bertanya kepada beberapa petugas yang membantu kedatangannya. Apakah sudah PCR atau uji usap antigen setidaknya sepekan sekali? Perempuan yang akrab disapa Etty itu mendapatkan jawaban yang tak terduga. ’’Banyak di antara mereka yang bilang sudah lama tidak dites. Nah, kan bisa saja saya aman di pesawat, tapi justru tertular saat urus dokumen jelang karantina atau saat diantar ke hotel,’’ jawabnya.