Overinvestasi Garuda?
dengan Nordic Aviation Capital untuk mengoperasikan Bombardier CRJ-1000 sebanyak 18 unit. Isi kontrak tersebut unik. Pesawatnya dibeli Garuda dan kemudian dijual ke perusahaan lessor. Anehnya, Garuda menyewa perusahaan yang sama dari lessor itu. Keanehan kontrak tersebut memancing investigasi dari Serious Fraud Office Inggris.
Sebetulnya Garuda pernah mengoperasikan total 145 armada dan cita-cita strategi korporasi 2007 akan terwujud jika tidak diselewengkan. Pada 2007 asumsi setiap aset dalam bentuk pesawat terbang dikapitalisasi dengan nilai USD 200 juta. Artinya, dengan 145 pesawat, nilai aset Garuda mencapai USD 29 miliar. Sungguh luar biasa aset Garuda, setara dengan Rp 417,6 triliun.
Namun, strategi korporasi tersebut tidak pernah terjadi karena laporan keuangan pada semester I 2021 hanya mencatatkan nilai aset sebesar USD 10,1 miliar. Yang mengejutkan, nilai kewajibannya justru melampaui asetnya, yakni USD 12,9 miliar. Artinya, bisnis penerbangan yang ramai, jumlah armada Garuda yang ratusan, dan jadwal penerbangan setiap jam itu semua virtue atau tidak riil. Manajemen Garuda memang tidak pernah menjalankan strategi korporasinya yang dirumuskan sendiri sejak 2007. Dan malapetaka itu datang bersamaan dengan pandemi Covid-19. Dalam perkara ini, harus diakui, Covid-19 adalah blessing in disguise. Ada hikmah di balik bencana. Mata publik akhirnya terbuka pada bagaimana buruknya manajemen maskapai penerbangan nasional tersebut.
Overinvestasi
Ada yang menarik di balik gagalnya Garuda menerapkan strategi korporasinya. Bahwasanya menjalankan strategi korporasi memang tidak mudah. Dan malah berpotensi menjadi tindakan malapraktik. Masih ingat bagaimana mantan Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan juga dipersoalkan dengan investasi dalam bentuk participating interest di blok Basker Manta Gummy (Australia) pada 2009? Strategi itu dinyatakan sebagai tindak pidana merugikan negara pada 2019. Karen pun harus bertanggung jawab atas kerugian negara sebesar Rp 568 miliar. Pada Juni 2019 hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis 8 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 4 bulan penjara kepada Karen.
Banyak BUMN yang kini masif menjalankan investasi karena ”paksaan” pemerintah. BUMN karya sudah jelas pada konteks sekarang karena tugasnya mengerjakan proyek-proyek infrastruktur nasional. Akuisisi juga banyak dilakukan BUMN. MINDID bahkan mengakuisisi Freeport dan kemudian PT Vale dan masih banyak BUMN lainnya.
Yang belum dipikirkan adalah indikator untuk memperingatkan BUMN tentang aksi investasi mereka. Apakah berada pada level lampu hijau, kuning, atau merah. Pada konteks Garuda, investasi 2009 seharusnya sudah menyalakan lampu kuning. Indikator berubah menjadi merah pada 2016. Tepatnya ketika manajemen Garuda menerima 23 pesawat. Seharusnya terpikir bagaimana utilitas pesawat tersebut. Garuda sudah rugi sejak 2014 saat ES mengundurkan diri. Kerugian itu menjadi kian parah saat pandemi dan terus berlanjut sampai saat ini. Total utangnya bahkan mencapai USD 9,8 miliar kepada 800 kreditur.
Melaporkan oknum yang menumpang keuntungan di atas strategi korporasi memang wajib dilakukan setiap warga negara. Namun, pada konteks strategi korporasi, Garuda tidak salah karena menjalankan inisiatif strategi yang sudah dicanangkan. Strategi pembelian pesawat baru sampai 78 unit sebetulnya juga tidak salah jika dijalankan secara benar. Yang perlu diinvestigasi adalah bagaimana kewajaran nilai pasar pada saat kejadian berlangsung. Apakah pengadaan itu memenuhi asas kepatutan dan kebenaran?
Sekarang ini banyak direksi BUMN yang menjadi ketakutan ketika akan memutuskan ekspansi perusahaan. Takut mengalami hal yang sama dengan ES, Karen, dan masih banyak lagi. Padahal, konteksnya bukan persoalan investasinya, melainkan operasi investasinya yang disalahgunakan. Kementerian BUMN juga harus memberikan penjelasan akan hal itu kepada setiap direksi BUMN karena ini menjadi hambatan utama perkembangan BUMN.
Jika hal tersebut tidak disosialisasikan, akan banyak direksi BUMN yang bermain aman semata untuk tidak terlibat persoalan hukum di kemudian hari. Hal itu akhirnya disayangkan: mereka dipilih karena bertalenta unggul, tapi ujung-ujungnya masuk bui. Siapa yang mau demikian? (*)
EFFNU SUBIYANTO *)
*) Ketua umum Serikat Karyawan Semen Indonesia