Bahtera Nuh Menyapa
Hujan Januari habis-habisan luruh. Banjir mengancam. Kita pun mendadak teringat Nabi Nuh.
NUH (atau Noah) adalah sosok amat istimewa. Berbagai kitab, dari Perjanjian Lama sampai Taurat, menuliskan Nuh dengan tinta apik. Bahkan dalam Alquran nama Nuh disebut sebanyak 43 kali. Dalam beberapa risalah, Nuh dianggap sebagai keturunan kesembilan dari Nabi Adam. Dan pada sekitar 3650 SM diangkat sebagai nabi ketiga setelah Adam dan Idris.
Ibnu Katsir menceritakan bahwa Nuh, yang lahir 126 tahun sepeninggal Nabi Adam, adalah utusan pertama Tuhan yang ditugaskan menyelamatkan kaum Bani Rasib, ”wakil” dari umat manusia yang ruwet. Di bagian lain, Ibnu Abbas menulis kisah bahwa Nabi Isa pernah menghidupkan Ham bin Nuh. Pada saat itu Ham ditanya, mengapa rambutnya beruban. Ham menjawab, uban yang tumbuh di kepalanya adalah akibat penderitaan luar biasa kala banjir besar melanda. Di situ Ham menjelaskan bahwa ketika itu ia naik kapal bikinan ayahnya, Nuh!
Dalam cerita, disyahdankan bahwa sudah sekian lama Nuh mengimbau orang-orang sekitarnya untuk selalu berbuat lurus. Sementara bagi mereka yang sudah terperosok diminta untuk segera kembali ke jalan Tuhan. Namun, usaha Nuh ini sia-sia. Bahkan Nuh dianggap lelaki eksentrik yang mengada-ada. Nuh pun dicemooh dan dihujat oleh komunitasnya.
Tuhan menyaksikan bahwa ulah manusia yang hidup di sekitar Nuh adalah cerminan seluruh kaum Bani Rasib. Sehingga, apabila Tuhan memberikan pelajaran kiamat kepada komunitas Nuh, sesungguhnya Ia hanya menyampaikan isyarat: pada akhirnya seluruh umat akan mengenyam pelajaran bagai yang diterima oleh komunitas Nuh. Isyarat itu berujung dalam bentuk peringatan: ”Apabila manusia tetap tidak mau mengikuti jalan-Ku, akan Aku turunkan hujan selama 40 hari 40 malam.”
Namun, Tuhan tentu tidak ingin memusnahkan semua isi dunia. Maka, sebelum banjir tiba, Nuh diperintahkan untuk membuat perahu besar atau bahtera. Dengan bahtera itu, Nuh diharap bisa menyelamatkan makhluk yang percaya kepada jalan kebenaran dan diyakini diperlukan untuk kelangsungan hidup makhluk di bumi pada kemudian hari.
Lalu, hujan diturunkan dan banjir yang luar biasa tiba. Meski manusia sudah membuat ribuan sumur resapan, negeri tetap tenggelam. Tak terhitung manusia yang mati, termasuk Kan’an, satu putra Nuh yang hidupnya selalu mungkar. Hanya Nuh, istri, tiga anaknya, dan beberapa pengikutnya yang selamat.
Setelah air surut, konon, perahu Nuh kandas di atas Bukit Judi, yang terletak di wilayah Kurdi, bagian selatan Armenia.
*** Masyarakat modern tak henti menafsir kisah ini. Ada versi yang mengatakan bahwa hewan yang dibawa Nuh ”hanya” 270 ekor. Sementara penelitian yang dilakukan oleh BBC Worldwide Limited (periksa film ilmiah Noah and the
Great Flood) mengungkap bahwa perahu Nuh sesungguhnya hanya beberapa belas meter panjangnya. Dan yang diselamatkan hanyalah 7 pasang hewan yang ditradisikan untuk persembahan kepada Tuhan. Di situ juga dikatakan bahwa Nuh adalah seorang petani anggur baik hati, namun memiliki sejumlah utang dagang di hari tuanya.
Sejauh-jauh tafsiran dan rasionalisasi berkembang, cerita Nuh tetap menyimpan nilai yang bisa dipandang dari berbagai sisi oleh manusia di kurun berbilang milenium. Dari sisi moral, kisah ini memberi ingatan bahwa dalam kehidupan ada rambu-rambu yang harus selalu ditaati. Dari sisi sosial, kisah ini bisa dianggap sebagai catatan pasti bahwa perilaku manusia selalu dihadang oleh hukum-hukum masyarakat. Apabila hukum masyarakat tak mampu menangani, yang berperan adalah hukum alam.
Yang menarik, kisah Nabi Nuh telah ribuan kali diinterpretasikan oleh perupa di dunia. Yang terbanyak berangkat dari pemahaman keagamaan, bagai dalam lukisan klasik Franzosisher Meister (1675), Joseph Anton Koch (1803), atau Edward Hick (1846). Tak sedikit yang bertolak dari pemahaman moral dan sosial. Juga yang menatap kisah Nuh semata dari aspek visual.
Di Indonesia, karya seni rupa bertema Nuh muncul dalam setiap zaman. Pada karya perupa ternama Widajat, Soeparto, Amrus Natalsya, Boyke Aditya Krishna, Mansyur Mas’ud, Robby Lulianto, Cubung Wasono Putro, misalnya. Sebuah kenyataan yang lantas menginspirasi Budi Karya Sumadi (kini menteri perhubungan) menggelar seni visual Seni Rupa Nuh di galeri North Art Space, di Pasar Seni Ancol 2010. Pameran besar yang diikuti puluhan seniman. Seni visual Nuh hadir sebagai pengingat agar kita tak henti waspada.
Kisah bahtera Nuh mengajak kita merenung dan berpikir di kala menghadapi banjir. Maka ayal pada Januari yang basah, bahtera Nuh diamdiam dirindukan kehadirannya di pelosok Indonesia yang gelisah! (*)