Menghargai Hidup setelah Bertemu Banyak Kematian
Buku yang mengilhami serial drakor populer Move to Heaven ini mengungkap beragam kisah nyata di balik kematian yang diceritakan pengurus barang-barang peninggalan orang yang sudah meninggal.
CARA menyikapi kematian di antara berbagai bangsa memang berbeda. Itu juga dipengaruhi agama, kepercayaan, dan budaya setempat.
Orang Swedia, misalnya, memiliki praktik lazim yang mereka sebut döstädning atau ”pembersihan kematian”. Ini adalah pembersihan barang-barang sebelum ajal seseorang menjemput yang dilakukan sendiri oleh yang bersangkutan.
Barang-barang itu diberikan kepada orang lain, dijual, atau dibuang pemiliknya sendiri ketika sudah merasa akan meninggal atau berusia lanjut. Di Indonesia apa yang dilakukan orang Swedia dengan döstädning bukanlah sesuatu yang lazim dilakukan.
Sementara itu, di Korea Selatan ada semacam kepercayaan di mana keluarga dari orang yang meninggal dianggap tabu untuk menyentuh langsung barang-barang milik kerabat atau saudara yang meninggal. Karena itulah, seorang lelaki di Seoul bernama Kim Sae-byoul yang memiliki karakter welas asih dan suka menolong tergerak untuk melakukan pekerjaan membersihkan barang-barang peninggalan orangorang yang telah wafat.
Pengalaman menekuni pekerjaan sebagai petugas yang membersihkan peninggalan orang meninggal karena berbagai sebab selama bertahuntahun itu lalu dia tuliskan di dalam buku Things Left Behind bersama Jeon Ae-won. Buku yang mengilhami serial drakor populer Move to Heaven
ini mengungkap beragam kisah nyata di balik kematian yang diceritakan pengurus barang-barang peninggalan orang yang sudah meninggal.
Baik yang meninggal karena sebab natural maupun tidak –misalnya pembunuhan atau bunuh diri. Sebagian barang yang dianggap berharga atau bermakna khusus diberikan kepada keluarga atau ahli waris si mati di dalam sebuah kotak. Adapun barang-barang lain akan dihibahkan ke yayasan amal atau dibuang.
Tujuan Sae-byoul menulis buku ini bukanlah untuk memperkenalkan pekerjaan unik membereskan barangbarang peninggalan orang yang sudah meninggal atau special cleaning service.
Dia ingin berbagi cerita dan pengalaman dengan pembaca bahwa di sekitar kita ada banyak kematian menyedihkan yang tak kita ketahui dan kemudian menarik pelajaran darinya.
Seperti ditulis Sae-byoul, saat diminta membersihkan barang milik orang yang telah meninggal, terkadang ditemui kasus-kasus mengejutkan. Seperti orang tua yang meninggal tanpa diketahui dan jenazahnya baru ditemukan berminggu-minggu kemudian dan telah berbau busuk.
Ada pula kasus orang yang meninggal karena bunuh diri dan memantik banyak pertanyaan di benak Sae-byoul saat membereskan barang-barang yang ditinggalkan. Misalnya, mengapa orang itu sampai nekat mengambil jalan pintas?
Salah satu kisah sedih dalam buku ini adalah saat Sae-byoul membereskan barang peninggalan seorang duda akhir lima puluhan. Dia tewas bunuh diri. Lelaki itu tinggal sendirian meski mempunyai anak-anak dan masih sering berkomunikasi dengan mereka.
Tetapi, di surat wasiat almarhum tertulis, ”Aku tak tahan lagi dengan rasa kesepian ini. Tetapi, aku merasa tidak enak kepada anak-anakku karena memilih jalan ini.” Artinya, ia kesepian dan memiliki banyak masalah.
Memang tak mudah menghadapi zaman tanpa kontak ini bagi generasi yang biasa bertemu dan berbincangbincang secara langsung. Berbeda dengan kaum muda yang terbiasa berkomunikasi dan berinteraksi melalui smartphone, generasi tua membutuhkan pertemuan yang intim.
Diskoneksi antargenerasi juga menjadi lebih parah karena masingmasing generasi tak bisa memahami cara berpikir satu sama lain. Kisah nyata di atas membuat kita menyadari bahwa smartphone yang menyambungkan dunia melalui saluran tak kasatmata dan bisa memberi sukacita bagi seseorang ternyata bisa menjadi penyebab kesepian bagi yang lain.
Ditulis dengan jernih dan menyentuh, buku ini menggabungkan pengalaman pribadi dan renungan personal dengan bahasa yang mengalir dan enak dibaca. Pada akhirnya, membaca buku ini menyadarkan kita akan hal-hal penting yang selama ini kerap luput dari perhatian, antara lain betapa berharganya kehidupan, keluarga, persahabatan, kasih sayang, dan perhatian yang tulus. (*)