Dengan Mung, Hidup Terasa Lebih Enteng
Urip Mung Mampir Ngguyu menggambarkan ’’cairnya’’ pergaulan Butet Kartaredjasa. Aktor teater, tokoh agama, sampai mantan presiden punya cerita tentangnya. Biografi itu juga jadi refleksi singkat ekosistem seni dan budaya di Indonesia.
BIOGRAFI Urip Mung Mampir Ngguyu menjadi kado Butet Kartaredjasa di ulang tahun ke-60 pada November lalu. Proyek yang dikerjakan serba dadakan tersebut memuat beragam potret Butet dari mata sahabatnya. Dari yang jenaka hingga yang haru. Salah satu inisiator buku Puthut E.A. menyatakan, buku tersebut amat mungkin berubah.
Dalam acara bedah buku yang dilaksanakan pada Selasa (11/1) di Sangkring Art Space, Urip Mung Mampir Ngguyu edisi kedua dikuliti. Ada tambahan tiga penulis baru. Perbandingan jumlah halamannya pun cukup terasa.
Edisi pertama, yang dirilis November lalu, setebal 514. Edisi keduanya lebih gemuk: 586 halaman. Puthut menceritakan, buku itu tak hanya bercerita tentang Butet.
’’Mas Butet memang tokoh sentralnya, tapi kalau dibaca dengan lebih serius, ini adalah kisah tentang banyak hal di Jogjakarta. Dari seni rupa, teater, dan berbagai peristiwa dan acara kebudayaan,’’ lanjut pria yang juga kepala suku Buku Mojok itu. Puthut menjelaskan, serpihan dunia seni dan budaya – khususnya di Jogjakarta– ada di cerita-cerita para tokoh penulis buku tersebut.
Penulis sekaligus kurator Alia Swastika juga mengamini paparan Puthut. Dia menjelaskan, buku tersebut merefleksikan pergaulan dan ekosistem seni di Jogjakarta. ’’Khususnya di era 1970-an dan 1980-an yang tidak banyak generasi saya tahu. Membaca buku ini memberi saya banyak insight, bagaimana seni rupa, sastra, lukis, dan lainnya sangat cair di sosok Mas Butet,’’ lanjut Alia.
Alia mengungkapkan, kisahkisah Butet yang dituturkan penulis dari beragam latar belakang merefleksikan interdisipliner dalam seni. ’’Ada teori dalam beberapa tahun terakhir yang menyebutkan, seni harus meluas. Meski nyatanya, jurusan akademis pun masih terkotak-kotak seperti seni rupa dan seni tari,’’ paparnya. Alumnus Universitas Gadjah Mada itu mencermati, penerapan teori itu tergambar di Urip Mung Mampir Ngguyu.
Ekosistem seniman dari lintas disiplin, khususnya di Jogjakarta, dibangun begitu kuat. ’’Rumah Pak Umar Kayam dan sekolah Pak Umbu (Landu Paranggi) di Malioboro jadi pertemuan seniman dari banyak disiplin,’’ lanjut Alia. Dia juga menggarisbawahi intergenerasional dalam buku itu. Selain tumbuh di padepokan milik ayahnya dan belajar dari seniman senior, Butet membuka ruang belajar buat seniman muda.
Direktur Yayasan Biennale Jogjakarta itu menilai, Butet menjadi contoh baik buat generasi muda dalam menyikapi keberagaman dan perbedaan. Seniman berjuluk Raja Monolog itu mampu menyerap pandangan orang lain dan menjadikannya ruang percakapan yang lebih personal.
’’Mas Butet mampu berjarak dari perbedaan sebagai sikap personal. Sikap ini masih sulit dipelajari oleh kami karena generasi kami cenderung frontal menyikapi sesuatu yang beda,’’ kata Alia.
Sementara itu, kritikus dan ilmuwan sastra Faruk H.T. beranggapan, Urip Mung Mampir Ngguyu menawarkan pandangan hidup berserah, tapi tidak menyerah. ’’Totalitas Butet bukan pada ngguyu-nya, melainkan mung. Dengan mung, hidup terasa lebih enteng,’’ ungkap dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM itu.
Faruk menceritakan, Butet seakan-akan menggambarkan hidup mung (atau hanya) hidup sehingga tidak perlu ’’menggenggam” banyak hal. Sikap itu juga terpancar dalam pergaulan dan proses Butet berkesenian.
’’Berkesenian tidak harus ngotot, kan cuma mung. (Butet, Red) tidak nganggap ’politik itu tabu buat kesenian.’ Itulah yang membawa kita secara filosofis pada apa yang disebut interdisipliner. Teori sikap mung membuat tidak ada esensialisasi dan kita bisa cair,’’ tegas guru besar Universitas Gadjah Mada itu.
Bagi Butet, filosofi Jawa urip mung mampir ngombe memberinya energi amat besar. Mengantar dirinya yang selama nyaris setahun terbaring dan sempat mengenakan kursi roda, semangat melakukan fisioterapi, hingga kini bisa berdiri dan berjalan dengan bantuan tongkat. ’’Meski saat membaca buku ini, saya merasa seperti sudah mati, lalu teman-teman nulis obituari. Asu to kuwi,’’ kelakarnya.
Dia juga menilai, ulasan Alia dan Faruk terlalu ’’tinggi”. Butet mengaku tidak yakin dengan kemampuan dirinya. ’’Tapi, saya betul-betul di-support dan mendapat banyak ilmu pengetahuan dari irisan pergaulan saya, baik semasa berpendidikan maupun di ’lingkaran’ liar pertemanan saya… Hal itu menyadarkan saya, ilmu itu tidak ada batas teritorialnya, semua pasti ada irisannya,’’ lanjut kakak mendiang Djaduk Ferianto itu.
Butet menjelaskan, kemampuannya melebur dan mencair dengan berbagai kalangan dan latar belakang lahir dari nasihat ayahnya, Bagong Kussudiardja. Mendiang Bagong berpesan agar putranya jadi manusia yang bertanggung jawab, jujur. Plus, bergaul seluas-luasnya. ’’Jangan memandang pangkat dan derajat orang dalam pergaulan karena pergaulan itu sumber pengetahuan dan rezeki,’’ ucap Butet.