Jawa Pos

Gajah dan Sesajen Tak Tertendang

”Cita-citamu apa, Anak-Anaaaaaaak…?” tanya bu guru PAUD. ”Jadi orang yang bisa menunda Pilpres 2024, Bu Guruuuuu…” ”Oooooh… Berarti kalian semua pengin jadi pengusaha?” ”Betul, Bu Guru. Usaha start-up bidang jasa… Jasa penundaan pilpres…horeeeeeee­e……”

- SUJIWO TEJO Tinggal di Twitter @sudjiwoted­jo dan Instagram @president_jancukers

BU GURU PAUD yang wajahnya gado-gado antara Yuni Shara dan Arawinda Kirana pemeran utama film Yuni ini esok paginya sowan Bu Jendro. Istri Sastro itu terenyak, ”Lho, saya ini juga tergolong pengusaha, lho, Jeng. Apa iya saya ini golongan orang yang ingin menunda Pilpres 2024?”

Bu guru PAUD menunda jawaban. Tampak masih terpana akan tingginya cita-cita peserta didiknya, yang tampak lebih tinggi dari prediksi angka tertular virus Omicron awal Februari nanti. Kedipan matanya pun ia tunda. Ia relakan matanya agak sedikit perih-perih kering gimana, gitu. Ya, semua tertunda pagi itu. Kecuali matahari terbit.

Oleh:

SUJIWO TEJO

Akhirnya, ”Wah, Bu Jendro, saya mana tahu. Apa kriteria pengusaha maksud Pak Menteri urusan investasi itu? Apakah laki-laki semua. Umumnya laki-laki kan memang demen menunda-nunda menikahi anak orang. Perawan tetangga saya itu malah akhirnya ikhlas dinikahi juru sajen sebab calonnya seorang lelaki politikus menunda-nunda terus janjinya.”

”Heuheuheu… Ya, mungkin maksud Pak Menteri itu laki-laki pengusaha. Kalau perempuan kan pengusahi.”

”Xixixixi… Lha, usahi Bu Jendro ini apa?”

”Usahi saya itu ya setiap detik berjuang keras agar seolah-olah tidak bosan pada suami saya, Sastro… Wah, jatuh bangun aku di situ. Ngalah-ngalahi perjuangan pengusaha.”

”Xixixixi... Bu Jendro bisa

azzzza. Buktinya pernikahan Panjenenga­n awet, kok. Malah ini sudah menginjak periode kawin emas. Periode kawin perak sudah selamat. Sentosa. Ini sudah hampir dua periode, lho...”

***

Saat seluruh keasyikan pertemuann­ya dengan guru

PAUD itu Jendro ceritakan ke suami, tentu kecuali yang soal ia berusaha agar tampak belum bosan pada

misua, Sastro kurang menanggapi. Si lelaki sepuh lebih asyik ngobrol dengan gajah-gajahan yang mampu berbicara karena dilengkapi sajen oleh seorang mahasiswi ITS jurusan ITB.

”Sudahlah, Istriku. Jangan mau dikibuli bu guru PAUD. Mana ada anak-anak PAUD

ngerti pilpres. Milenial sampai generasi Y dan Z saja belum tentu sadar bahwa tahun 2024 akan ada pilpres. Pilpres itu apa mungkin mereka juga nggak ngeh. Mereka tahunya

mental health. Bagaimana cara tampak kaya di

Instagram. Bagaimana cara pura-pura bahagia di

TikTok walau pura-pura kurus tetap susah.”

”Ah, masak, sih, Pak? Ini penghinaan bagi anak-anak PAUD dan generasi Z. Nanti Sampean tak laporkan polisi, lho.”

”Lho, faktanya memang begitu. Mana ada anak PAUD yang kencing saja belum bisa lurus ujug-ujug bisa mikir politik. Kayak orang dewasa yang lagi

nganggur saja? Kecuali kalau mereka diberi sajen yang tak tertendang oleh mahasiswi ITS jurusan ITB itu…”

”…O ya, sebelum lupa, sebutan ’mahasiswi ITS jurusan ITB’ itu cuma candaan Sastro buat mahasiswi ITS yang menggeluti sajen berupa kecerdasan buatan gajah. Gajah, avatar dewa ilmu pengetahua­n Ganesha, adalah logo ITB.

Jendro balik kanan walau tak cemberut. Dia pengusaha tulen. Cara balik kanannya tetap ia usahakan agar tampak masih belum bosan pada suaminya. Melengosny­a diusahakan agar menjadi melengos yang manja.

Plerokan matanya diusahakan agar menjadi plerokan yang menggemask­an.

***

Istri sudah jauh hingga ke ambang ruang tengah rumah Sastro.

”Eh, kamu jadi mau melapor polisi?” Sastro berseru. Diterawang­nya punggung istrinya yang melenggang makin menjauh serta bokongnya yang megal-megol seolaholah penuh pesan cinta periode kawin emas.

”Husssshhh! Istrimu tidak akan melapor,” gajah bicara. ”Setelah kuanalisis dengan

big data, istrimu bukan tipikal bangsamu yang latah sedikit-sedikit lapor. Percayalah, Sastro.”

”Andai ada yang bikin cuitan di Twitter bahwa Tuhan istriku lemah?”

”Dia tidak akan melapor. Paling-paling memaafkan. Sebab, segala apa yang bisa tumbuh karena pujian orang, dan bisa mengerut karena hinaan orang, itu sudah bukan iman lagi. Itu kalkulasi.”

”Kok bisa?”

”Hadeuuuh, Sastro. Iman itu setara cinta. Mungkin malah lebih mulia. Cinta tidak membesar atau mengecil karena pujian atau cercaan masyarakat. Cinta hanya menyamudra atau sirna menguap lantaran pengalaman dan penghayata­n pribadimu bersama sang tercinta. Ingat, seluruh keluarga besarmu dulu merendahka­n Jendro sebagai perempuan lemah yang harus selalu dibela… Tapi, cinta Sastro-Jendro tak melapuk. Janur tetap melengkung di Minggu Wage itu. Sastro menikahi Jendro.”

”Hmmm… Kalau soal ’Tuhan tak perlu dibela’…”

”Oh, soal itu… Sebentar. Aku analisis dulu…. Nah, ini ada data. Ternyata Gus Dur pernah menulis buku

Tuhan Tak Perlu Dibela…”

”Lha, orang tua saja mesti kita bela… Apalagi Tuhan?”

”Husssh… Beda. Orang tua, guru, pemimpin, anak... semua perlu kita bela karena mereka semua makhluk. Tuhan bukan makhluk. Tuhan pencipta makhluk. Kekuatan-Nya sundul tak terhingga dibanding sok kuatnya perserikat­an makhluk-makhluk semesta. Jauh sebelum Gus Dur, wayang juga mendidik begitu.” (*)

 ?? ILUSTRASI: BUDIONO/JAWA POS ??
ILUSTRASI: BUDIONO/JAWA POS
 ?? ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia