MITSUBISHI ‘EXPANDER’ 11
Buka-bukaan
LMPV ( Low Multi Purpose Vehicle) punya keluarga baru. Yakni Mitsubishi ‘Expander’ dan Wuling Confero S. Keduanya punya daya tawar tinggi, sehingga diprediksi mampu mengubah peta persaingan LMPV. Sebab, pasar ini mulai terlihat jenuh dengan model dan pemain yang itu-itu saja. Terlebih setelah harga jual LMPV yang terus berangsur naik, maka konsumen tentu akan lebih selektif dan sangat mempertimbangkan value for money.
Nah loh, lantas bagaimana repons ‘pemain lama’ yang duluan eksis agar tetap bisa meraup sukses di pasar gemuk. Tentu perlu strategi jitu menghadapinya supaya konsumen tak berpaling ke pihak lain.
Salah satu cara dan yang paling lumrah dilakukan yakni mengumbar diskon besar, bahkan jauh sebelum kehadiran Expander dan Confero S. Diskon sudah jadi bagian dari gimmick marketing. Karena memang jadi senjata ampuh memikat konsumen yang mulai jenuh dengan LMPV, yang itu-itu saja.
Pangsa pasar LMPV sendiri sebenarnya masih menjadi ‘pasar seksi’ yang berkontribusi besar terhadap penjualan mobil nasional. Data Gaikindo menyebutkan, LMPV menyumbang 25 persen penjualan secara wholesales nasional, atau rata-rata 250 ribu unit per tahun. Semester pertama tahun ini ( Januari-juni 2017), LMPV membukukan angka penjualan 127.156 unit. Pantas saja kalau segmen ini dilirik sebagai ‘pasar seksi’ bagi pabrikan.
Nah supaya info yang didapat bisa optimal, OTOMOTIF melakukan investigasi ke dealer resmi. Apakah hadirnya dua rival, diskon bakal lebih besar lagi? Lalu apakah ada promo lainnya? Yuks ditelusuri lebih lanjut, berikut ini ulasannya. • Dwi,
Kementerian Perindustrian (Kemeperin) berniat memberlakukan pajak yang dihitung berdasarkan emisi karbon yang dihasilkan kendaraan. Carbon tax atau pajak emisi gas buang ini sebetulnya sudah banyak diaplikasi di banyak negara. Dana akumulasi pajak yang terkumpul dari carbon tax nantinya bisa digunakan untuk mengembangkan energi bersih dan terbarukan ataupun digunakan untuk mengembangkan infrastruktur energi alternatif yang ramah lingkungan.
Gaikindo (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia) sendiri sudah diajak koordinasi mengenai hal ini. “Sekarang tengah dikaji di UI (Universitas Indonesia), apakah layak diterapkan atau tidak. Kita tunggu masukan dari kajian tersebut,” ungkap Johannes Nangoi, Ketua Umum Gaikindo, saat ditemui OTOMOTIF ( 11/ 7).
Lembaga kajian pendidikan yang dimaksud adalah LPEM ( Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat) UI. Kajiannya mencakup carbon tax serta dikaitkan dengan Kendaraan Bermotor Hemat Energi dan Harga Terjangkau (KBH2), Low Cost Green Car (LCGC), Low Carbon Emission Program (LCEP) yang selama ini sudah beredar di pasaran.
Seperti diketahui KBH2, LCGC dan LCEP dibatasi jumlah emisi gas buangnya. Selain itu masih banyak beredar kendaraan yang menghasilkan emisi gas buang diatas ambang batas. Hal inilah yang jadi konsentrasi Pemerintah, untuk mengkaji regulasi carbon tax.
Gaikindo berharap aturan ini nantinya bisa adil dan tidak merugikan masyarakat. “Bisa dengan mengkategorikan ukuran mesin. Misal, ukuran mesinnya 1.000 cc akan dikenakan berapa atau sekian pajak emisinya. Sementara semakin tinggi ukuran mesin juga ditentukan berapa, dan seterusnya. Jadi supaya fair terhadap teknologi yang sekarang ini. Ini bisa berlaku sampai produsen dalam negeri meningkatkan teknologi mesinnya,” terang Jongkie D Sugiarto, Ketua I Gaikindo.
Kabarnya kajian di LPEM UI sudah ada hasil. “Gambaran carbon tax bagaimana, kami belum usulkan. Menteri menyebutkan masih jauh. Pihak akademisi UI sudah memberi masukan, dan kami sedang pelajari bersama-sama. Tahun ini harus selesai,” beber Nangoi, seperti dikutip dari Kompas.com. • Harryt