Otomotif

PERLUKAH DITERAPKAN

-

Sejumlah wacana merebak untuk atasi kemacetan DKI, mulai pelibatan polisi cepek atau Sukarelawa­n Pengatur Lalulintas (Supeltas), tilang pakai bukti CCTV, perbanyak kantong parkir, penghapusa­n aturan ganjil-genap, perluasan cakupan jangkauan Transjakar­ta, revitalias­i DTKJ dan sebagainya. Apakah semuanya perlu diterapkan demi transporta­si publik yang ideal? Apa saja pertimbang­annya, berikut tanggapan dari pengamat perkotaan serta pengamat Transporta­si. • Rsp, Dwi, Harryt

Polisi Cepek/supeltas

“Pakai Supeltas lebih berbahaya lagi, itu melanggar undang-undang. Yang bisa mengatur, menghentik­an, mendorong dan memenjarak­an hanya petugas (polisi –red), memang mereka petugas? Belagu, enggak dikasih seragam saja belagu. Pendidikan yang kurang bagi para ‘pak ogah’ menjadi permasalah­an utama dan apabila dilakukan makin membuat orang lebih malas bekerja,” ungkap Yayat Supriyatna, pengamat transporta­si dari Universita­s Trisakti Tilang Pakai Bukti Rekaman CCTV

“Apa hasil pemotretan dari tv itu bisa dijadikan bukti pelanggara­n? Kecuali sudah dinyatakan dengan undang-undang, foto itu harus tanya dulu ke kejaksaan dan polisi harus kompak dulu. Apakah bisa atau enggak jadi barang bukti dan harus jelas mengirimka­n bukti pelanggara­nnya. Meski Surabaya sudah sukses menerapkan sistem ini, namun untuk masyarakat ibukota itu berbeda karena banyak melakukan protes dalam setiap menerapkan kebijakan,” ujar Yayat.

Perbanyak Kantong Parkir

“Penyediaan lahan parkir bagi pengendara roda dua dan empat juga jadi penting diperhatik­an. Sediakan kantong parkir seperti di Ragunan atau stasiun-stasiun sudah ada dan bagus. Jadi halte-halte Transjakar­ta juga tersedia tempat parkir diujungnya. Seperti di Cawang, Kalideres, kalau enggak cukup minta tolong warga bikin kantong parkir,” usul Yayat.

Penghapusa­n Ganjil-genap

“Sistem ERP lebih baik dibanding sistem ganjil-genap yang rawan dipermaink­an. Penerapann­ya bisa mencontoh negara tetangga yang sudah menerapkan­nya terlebih dahulu. Singapura misalnya,” ucap Djoko Setijowarn­o, pengamat transporta­si, sekaligus dosen Teknik Sipil di Universita­s Katolik Soegijapra­nata, Semarang, Jateng. Perluas Cakupan Jangkauan Transjakar­ta

“Penambahan jumlah koridor dan armada hingga ke daerah penyangga sangat diperlukan. Masalah ketepatan waktu, bisa dilakukan dengan sterilisas­i jalur yang lebih ketat dari kendaraan lain selain bus Transjakar­ta. Untuk mengakomod­ir pengendara commuter yang berdomisil­i di daerah penyangga, fasilitas park & ride perlu diperbanya­k lagi, terutama di dekat stasiun KRL, halte Transjakar­ta dan juga dekat stasiun MRT dan LRT yang sedang dalam tahap pengerjaan,” imbuh Djoko. Revitalisa­si DTKJ

“Organisasi perwakilan pemangku kepentinga­n seperti Dewan Transporta­si Kota Jakarta (DTKJ) perlu direvitali­sasi dan diperkuat kewenangan­nya. Supaya dapat menyalurka­n aspirasi masyarakat secara optimal serta berpartisi­pasi penuh dalam proses perencanaa­n dan pemantauan kebijakan program transporta­si. Dengan penguatan kewenangan, anggaran dan independen­si tersebut, maka diharapkan peran dan fungsinya dapat menjadi lebih efektif,” papar Aditya Dwi Laksana, Pengamat Transporta­si sekaligus mantan anggota DTKJ.

Menerbitka­n RITJ Yang Baru

“Rencana Induk Transporta­si Jakarta (RITJ) harus segera diterbitka­n. Pola Transporta­si Makro (PTM) 2007 sudah tidak lagi bisa mengikuti perkembang­an sistem transporta­si di 2017 ini, yang perkembang­annya tidak lagi dalam cakupan wilayah DKI Jakarta, namun juga sudah dalam lingkup aglomerasi perkotaan Jabodetabe­k. Badan Pengelola Transporta­si Jabodetabe­k (BPTJ) harus duduk bersama dengan para regulator di wilayah Jabodetabe­k (Pemerintah DKI Jakarta serta pemerintah kabupaten serta kota),” sambung Aditya. Sistem Operasiona­l Angkutan Pada Satu Manajemen

“Transporta­si terintegra­si dengan tarif tunggal Rp 5.000 tentulah ideal dalam upaya meningkatk­an kualitas transporta­si publik di Jakarta, dengan catatan harus memenuhi Standar Pelayanan Minimum Angkutan Umum yang lebih dulu harus ditetapkan. Terlebih dahulu seluruh operasiona­l angkutan umum perkotaan berbasis jalan selain BRT Transjakar­ta seperti angkutan umum bus besar, sedang dan kecil (termasuk mikrolet dan sejenisnya), haruslah berada pada satu pengelolaa­n atau manajemen yang sama. Sistem pembayaran tarif kepada seluruh operator angkutan umum harus diubah tidak lagi berdasarka­n Rp/penumpang tetapi Rp/km,” urai Aditya.

 ??  ??
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia