MASIH PERLUKAH SOSIALISASI?
Larangan parkir di bahu jalan maupun di trotoar telah diatur dan ditegaskan melalui Perda hingga Undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Penindakkan juga sudah sering dilakukan, masih perlukah sosialisasi?
“Nah masalahnya justru di sosialisasi dari aturan tersebut. Kan pasti masyarakat tidak terlalu ngeh atau paham aturan tersebut. Jadi ini tugas Dishub. Seharusnya ada sosialisasi dulu yang memadai baru tindakan,” ungkap Aditya Dwi Laksana, pengurus Masyarakat Transportasi Indonesia.
Masih menurutnya, penggunaan bahu jalan termasuk trotoar juga perlu tahapan 3E (Education, Engineering dan Enforcement). “Education, maksudnya masyarakat diedukasi untuk tidak mengalihfungsikan atau menggunakan trotoar selain untuk
mobilitas pejalan kaki. Sedangkan engineering, disediakan trotoar secara teknis dengan kualitas yang memadai dan enforcement, mengenai perlunya penegakan hukum atas pelanggaran alih fungsi atau okupansi di trotoar secara masif dan intensif,” sambung Aditya.
Penindakkan aturan juga perlu tegas. “Jakarta harus berani beri contoh penegakan parkir tepi jalan. Walau kepala daerah ganti, aturan tetap berlaku. Di Kuala Lumpur sudah dilakukan sepuluh tahun lalu. Sembarang parkir diangkut. Bahkan lebih kejam, jika kena hari Jumat, hari Senin baru boleh diambil, padahal dendanya harian,” papar Djoko Setijowarno, Pengamat Transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, Jateng.
Terkait sosialisasi, Djoko berpendapat lain. “Sosialisasi sudah lama dilakukan. Jika dirasa masih kurang, bisa dilanjutkan. Tapi masyarakat umumnya sudah tahu itu, cuma masih ada yang mau berulah dengan banyak cara,” ungkap Djoko.