BELAJAR BANYAK HAL BARU
Kiprah pembalap motor Indonesia saat ini memang tidak bisa dipandang sebelah mata lagi. Mereka tak hanya menjadi jawara di Asia saja, tetapi sudah mulai diperhatikan di Eropa dan kini banyak menjajaki balap dunia.
Jika di Asia, mereka masih bisa bernaung di tim yang juga berasal dari Indonesia. Setelah menuju Eropa, jelas akan bernaung ke tim mancanegara yang berpengalaman pada balap internasional. Banyak cerita yang membuat pembalap Indonesia masuk ke tim tersebut.
Termasuk kendala mereka saat mulai beradaptasi di tim yang jelas tidak menggunakan bahasa Indonesia. Seperti Rey Ratukore dan Wahyu Aji Trilaksana yang bernaung di tim ONEXOX TKKR SAG Team untuk ajang Asia Road Racing Championship (ARRC).
KENDALA BAHASA
Tim itu berasal dari Malaysia yang kiprah balapnya dari Malaysian Cub Prix, ARRC, CEV Moto2, sampai ke Moto2. Meski Malaysia memiliki bahasa yang terbilang mirip dengan Indonesia, nyatanya masa adaptasi yang dirasakan Rey dan Wahyu tidak mudah.
“Apalagi bahasa balap yang ada di TWMR
Indonesia, jelas enggak sama dengan yang ada di Malaysia. Jadi di tahun pertama saya, itu masih pakai mekanik yang saya bawa dari Indonesia. Soal mapping ECU juga masih ditangani koko Leon Chandra yang juga handle saya di kejurnas,” tutur Wahyu Aji.
“Setelah sudah makin terbiasa, sekarang saya full sama mekanik Malaysia. Jadi memang butuh waktu juga untuk adaptasi,” sambungnya. Hal senada juga dirasakan Rey Ratukore saat mulai bergabung dengan ONEXOX TKKR SAG Team saat 2018.
Saat ini, ia mulai ditangani beberapa mekanik dari Malaysia, meski Leon Chandra tetap yang bertugas untuk mengecek ECU. Selain Rey dan Wahyu, juga ada Gupita Kresna dan Ahmad Yudhistira yang bergabung dengan tim luar negeri.
Gupita bergabung dalam tim 4S1M Motorsport yang berasal dari Filipina. “Jelas sulit dari segi bahasa, kita bergaul sebisanya saja, saya enggak ngerti bahasa mereka, juga sebaliknya. Saya dan pembalap Filipina juga bahasa Inggrisnya minim, jadi cukup sulit berkomunikasi,” jelas Gupita.
Alhasil pembalap asal D.i.yogyakarta itu tetap mengandalkan mekanik yang ia bawa dari Indonesia. Apalagi di tim ini juga ada Ergus Oei, asal Indonesia yang bertindak sebagai penasehat tim, sehingga masih bisa menjembatani.
Sedangkan Ahmad Yudhistira yang berseragam Victor Racing asal Jepang tidak mengalami kendala berarti dalam bahasa. Sebab ia dan timnya cukup fasih berbahasa Inggris, hanya saja kadang rekan setimnya yang berasal dari Jepang tidak begitu paham dengan bahasa Inggris, sehingga sulit bertukar data dan saling mengisi kekurangan.
Dengan skill dan bahasa, maka akan mempermudah langkah pembalap dalam step
up untuk ke kelas yang lebih tinggi. Setidaknya itu yang dirasakan Yudhistira, sehingga bisa membawanya ke kancah Suzuka 8 Hours dan
juga World Superstock 1000.
EROPA LEBIH DETAIL
Dengan bahasa Inggris yang baik, jelas akan sangat bermanfaat saat sudah masuk ke kancah balap Eropa. Seperti yang dirasakan Galang Hendra Pratama dan Mario Surya Aji dalam beberapa tahun terakhir.
Sejak berkiprah di World Supersport 300 (WSSP300), Galang sudah bernaung di tim yang berasal dari Italia. Karena cukup mahir dalam berbahasa Inggris, ia tidak mempunyai masalah dalam beradaptasi secara pergaulan, meski secara teknis ia sedikit mengalami hambatan.
“Jadi kalau kita jelasin cuma‘motornya kurang stabil’, pasti mereka bingung harus perbaiki yang mana, makanya harus lebih detail. Misalnya shock belakang reboundnya kurang pas atau pilihan rasio gir kurang tepat, begitu. Mereka nuntut kita harus lebih detail menjelaskannya,”papar Galang.
Itu lah kenapa sampai saat ini ia sudah masuk ke ajang World Supersport (WSS) 600 cc, karena bekal tersebut memang sangat berpengaruh. Demikian juga dengan Mario di CEV Moto3, Junior Talent Team kebanyakan berasal dari Jepang dan Spanyol, sehingga bahasa Inggris menjadi makanan sehari-hari. • DAB