Pesta Perceraian
LUSA dan Errys sepakat pegat. Pengantin yang masih baru itu akan segera mengakhiri pernikahannya –rumah tangga yang baru enam bulan itu– dengan perceraian. Padahal siapa pun di kota itu menjadi saksi cintanya. Kisah cinta yang ditulis sendiri oleh tangan Lusa dan Errys pada sebuah novela berjudul Bunga Narsis –cinta yang jujur dalam kata, tulus dalam dada dan tulis dalam sastra. Kini dengan sangat tiba-tiba, tak ada hujan, tak ada badai, bahtera rumah tangganya –Lusa dan Errys– tiba-tiba kandas, karam dan tenggelam.
Orang-orang bertanya kenapa? Apa sebabnya? bagaimana bisa? Adakah telinga mereka salah mendengar? Bukankah keduanya adalah dua orang yang saling mencintai? Sejuta tanya tak terjawab kecuali di tangan mereka melayang sepucuk surat yang dikirim lewat pos. Beberapa di antaranya menerima undangan itu lewat pesan yang dikirim melalui Messenger dan Whatsapp.
“Undangan pesta perceraian?” tanya setiap orang di kota itu dengan ekspresi yang bermacam-macam. Digaruk-garuk kepalanya padahal tak gatal. Dahinya mengkerut-kerut seperti kulit jeruk purut, seperti ada yang begitu rumit untuk dipikirkan macam mengurai benang kusut.
“Benar, ini undangan pesta perceraian. Rasanya baru ada mengundang orang untuk menyaksikan sebuah perceraian.” Riuh rendah orang-orang tiap kali membicarakan isi undangan itu. (2)
SURUT ke belakang. Belasan hari sebelum beredar undangan perceraian. Lusa dan Erys menikmati senja di kebun karet Way Lima di bawah badan sungai yang alirannya jernih, dangkal dan sungguh tenang. Seakan segala damai bermula dari ricik air yang menerobos ke celah bebatuan besar yang diduduki dua sejoli itu. Nun jauh di balik rimbun hutan karet, kabut tipis merayaprayap, mengendap-ngendap seakan tengah memburu keduanya.
“Lusa, dapatkah kita saling berbicara dengan cinta?” tanya Errys memulai pembicaraan dengan tetap meletakkan kepalanya di bahu suaminya. Dengan berpeluk pinggang, Lusa memandangi wajah cantik istrinya. Oval, mungkin itulah dalam istilah ilmu fisiognomi untuk menyebut bentuknya. Tipikal perempuan dari suku pubian Lampung yang jelita.
“Bukankah selama ini kita bersama atas dasar cinta? Saling berkasih sayang dan meletakkan rindu pada setiap waktu?” sahut Lusa dengan sunguh-sungguh.
“Aku tahu kita saling mencintai," ucap Errys.
“Lantas?” ucap Lusa memancing penjelasan.
Mata Errys mengajak Lusa beradu pandang, mengeja dan menafsir setiap kata yang terucap dan yang akan terkecap. Sementara senja yang memerah jingga memucat dengan kabut putih yang mulai turun mengendap ke bantaran. Errys menggenggam erat tangan Lusa, jemarinya likat di atas jemari suaminya.
“Berjanjilah kau tak akan marah dan tak akan mendarah!” pinta Errys seperti khawatir lelaki di sampingnya akan melakukan tindakan di luar batas kesadarannya.
“Kau ingin bicara apa, sayang?” tanya Lusa kemudian. Ia melepas genggaman tangan Errys dan beralih menyentuhkannya di dagunya yang manis, semanis buah bintang. “Ayo bicaralah, aku tak akan marah dengan apa pun yang akan kau katakan.”
“Sekali lagi berjanjilah untuk terus mencintaiku sebagaimana aku mencintaimu. Setelah aku mengatakan sesuatu padamu maka itu pun karena alasan cinta pula. Sebab, aku tak akan pernah bisa melupakanmu,” pintanya kemudian.
“Kau seperti orang yang hendak mengucapkan kata-kata perpisahan dan tak akan pernah berjumpa lagi? apakah demikian, Errys?” Lusa mencoba menerkanerka arah pembicaraan Errys. “Ayo, katakanlah! Aku akan mendengarnya.”
Errys memandang Lusa tanpa berkedip. Bibirnya seperti begetargetar seakan apa yang akan diucapkannya begitu berat untuk dirasakan Lusa.
“Ayolah, bicaralah!” pinta Lusa mulai tak sabar.
Kabut tipis telah menyentuh dan menyelimuti keduanya. Orang-orang yang berada di sekitar sungai sudah naik ke atas tanggul. Lusa dan Errys masih bertahan, mereka masih ingin menyelesaikan percakapan itu.
“Aku ingin bercerai,” ucap Errys pelan. Pelan seperti ricik sungai yang mengistrumenkan orkestra sunyi yang mengharukan.
“Apa katamu? Bercerai?” Bercerai, Errys? Apa kau tak salah mengucap? Atau telingaku yang salah mendengar?”
Errys menunduk. “Aku ingin bercerai,” ulangnya kemudian. Seakan apa yang tadi diucapkan masih belum bisa dipahami Lusa sehingga perlu mengulangnya. “Kau tak akan marah, kan?”
Lusa terdiam. Nafasnya tersengal. Ia segera melepas genggaman tangan Errys. Hatinya bekecai seperti batubatu kecil yang berserakan terseret arus sungai. Dalam diamnya, Lusa menahan beban rasa yang sungai pun tak akan sanggup menanggung luahannya sekalipun bersekutu dengan samudera.
“Tidak, aku tidak akan marah,” jawab Lusa. “Namun mengapa kau ingin berpisah dariku?
“Aku sangat mencintaimu. Terlampau cinta bahkan. Aku hanya takut cinta itu mengalihkan cintaku pada pemilik cinta yang sebenarnya. Terlalu mencintai tak baik bukan? Itulah sebabnya, sebaiknya kita bercerai saja,” lanjutnya lalu terhenti. Benar-benar terhenti. Wajahnya menunduk seakan ingin mencumbu lumpur sungai. Lalu hanyut terbawa sampai ke muara. Ke laut impiannya.
(3)
SEBUAH tempat yang lebih mirip pelaminan disiapkan. Tenda berwarna ungu dan merah jambu berornamen bunga-bunga narsis dan foto-foto keduanya dihiaskan. Beberapa meja panjang yang berisi prasmanan dengan segala macam makanan dan minuman disediakan pula. Kursi-kursi yang dibungkus kain berwarna putih terjejer rapi. Sebuah musik live dengan penyanyinya juga siap mengiringi. Semua itu diperuntukan Lusa untuk melepas cintanya kepada Errys, membuka ikatan pernikahan yang telah didapat dengan segenap perjuangan dan penantian yang berpanjangan. Tapi kini, Lusa merelakannya. Sesuatu yang tak pernah orang akan melakukannya.
Konon, biaya untuk menyiapkan itu diambil dari jerihnya selama menjadi penulis. Padahal ia telah mempersiapkan untuk membeli rumah dan sebuah mobil untuk memudahkan kehidupannya. Dikumpulkannya setiap kali tulisan tulisannya mendapat hon o rata u reward dari penerbit dan hasil penjualan buku. Sebelum sempat mewujudkannya, justru Errys memilih untuk berpisah dengan cara yang terlalu indah. Lantas dari keadaan itu, ia memecah celengannya dan membelanjakannya untuk keperluan pesta perceraiannya itu.
“Biarlah aku akan mempersembahkan sesuatu yang tak akan bisa dilupakan semua orang dengan pesta perceraian,” batinnya.
Baginya, semua yang sudah ia impikan dan cita-citakan untuk kehidupannya bersama Errys memang terasa tak ada artinya setelah terjadi kesepakatan untuk berpisah. Untuk itulah, demi menutupi kekecewaan yang tak terkatakan, Lusa memilih memberikan sebuah persembahan terakhir untuk istrinya sebelum Errys menjadi jandanya.
Barangkali kerana dulu saat keduanya menikah tak dirayakan dengan pesta, Lusa ingin saat perceraiannya diadakan pesta untuk membayar pernikahannya yang sangat sederhana, bahkan terlampau sederhana. Hanya ada wali, dua orang saksi, mahar dan pejabat dari catatan sipil tanpa ada pesta. Lantas ijab kabul pun terlaksana. Errys menangis terharu kala Lusa dengan sekali ucap telah menyelesaikan sebuah janji suci atas nama pernikahan.
Namun, hanya beberapa jam saja Lusa dan Errys menikmati indahnya pengantin baru. Tak ada ritual balik ranjang sebagaimana orang Jawa melakukannya. Bulan madu pun direlakannya begitu saja. Bahkan malam pertama pun dilewati keduanya dengan perpisahan yang melirihkan batin jiwanya. Errys mesti menyelesaikan kontrak kerjanya lima bulan lagi. Lalu ketika bertemu setelah beberapa bulan tak sua semenjak pernikahan itu, tiba-tiba Errys memutuskan untuk berpisah.
(4)
SUATU pagi di bulan Maret, di pelaminan yang tak lagi mempertemukan keduanya, Lusa dan Errys duduk terpisah. Di tengahnya di antarakan sebuah jarak yang tak bisa bagi bagi keduanya untuk saling menjangkau. Dengan sebuah kata-kata yang Lusa ucapkan kepada Errys, ikatan pernikahan itu benar-benar dilepas Lusa dari Errys. Keduanya saling tersenyum, tapi entah rasa apa di dalam hatinya. Apakah setampak buah kedodong yang mulus di luaran tapi semrawut di dalamnya? ataukah benarbenar seperti buah kelengkeng? Tamu undangan yang baru datang menyalami Lusa dan Errys seperti dalam pesta pernikahan.
“Selamat,” katanya tanpa bisa membedakan antara memberi ucapan selamat pada pesta pernikahan dan perceraian.
Di jalanan orang-orang saling pandang saat membaca sebuah janur yang dipasang di depan gang bertuliskan; Perceraian Lusa dan Errys.
“Benarkah ada pesta perceraian?” “Ya, kau boleh hadir sekalipun tanpa surat undangan.” “Untuk apa pesta itu?” “Agar kedua orang yang bercerai tak sedih.”
“Apakah ada makan dan minumnya?”
“Tentu saja, semua sudah tersedia bagi semua tamu yang datang.”
Perceraian itu berlangsung sangat meriah. Errys dan Lusa tersenyum gembira sebagaimana orangorang yang hadir pun merasakan kebahagiaan bisa berada dalam pesta itu. Mereka masih belum percaya sedang menghadiri sebuah pesta perceraian. Anggapan mereka –musik yang mengalun mengiringi biduanita yang melantunkan tembang-tembang kenangan dan hilir mudik tamu undangan menikmati hidangan– itu adalah acara pernikahan Lusa dan Errys.
Menjelang petang, pesta itu baru berakhir. Lusa dan Errys menjadi orang yang paling terakhir meninggalkan tempat itu. Berjalan bersama tanpa berpegangan tangan dan di persimpangan jalan keduanya memutuskan untuk berseberangan. Sebelum keduanya berpisah, mereka saling melempar senyum. Barangkali itu senyum yang terakhir. Getir, oh!